![]() |
Menteri keuangan indonesia:Sri mulyani |
Keputusan mendadak Iran dan Israel untuk menyepakati gencatan senjata tidak hanya meredakan ketegangan di Timur Tengah, tetapi juga langsung mengguncang pasar energi global. Harga minyak mentah dunia turun tajam hingga 7% dalam sehari, menandai reaksi pasar terhadap potensi stabilitas baru di wilayah yang selama ini menjadi titik panas geopolitik.
Penurunan harga minyak ini menimbulkan efek domino di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di satu sisi, penurunan harga bisa membantu menurunkan biaya impor energi dan meredam inflasi domestik. Namun, di sisi lain, negara ini juga berisiko kehilangan pendapatan dari ekspor migas serta menghadapi fluktuasi nilai tukar rupiah.
Pasar Minyak Bergejolak: Dari Perang ke Damai
Sejak awal 2024, konflik antara Iran dan Israel telah menyebabkan lonjakan harga minyak dunia, mencapai rekor tertinggi sejak 2008. Jalur pelayaran di Selat Hormuz sempat terganggu, membuat kekhawatiran soal kelangkaan pasokan energi global. Namun kini, seiring kesepakatan damai sementara antara dua musuh bebuyutan itu, pasar langsung merespons dengan penurunan harga tajam.
Brent Crude turun ke level USD 68 per barel, terendah dalam 10 bulan terakhir. Sementara West Texas Intermediate (WTI) juga merosot ke bawah USD 65.
"Harga minyak sangat sensitif terhadap konflik Timur Tengah. Tapi pasar juga sangat reaktif terhadap kabar damai, meskipun sifatnya sementara," ujar Arga Wirawan, analis energi dari Energy Watch Indonesia
Dampaknya bagi Indonesia: Tidak Sesederhana yang Dibayangkan
Bagi Indonesia, kabar ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, harga minyak yang lebih murah bisa menurunkan beban impor energi nasional, mengurangi tekanan terhadap APBN dan bahkan berpeluang menurunkan harga BBM.
Namun di sisi lain, Indonesia juga masih menjadi eksportir gas alam dan minyak dalam jumlah tertentu. Penurunan harga berarti potensi penurunan pendapatan negara dari sektor migas.
Menurut laporan Kementerian ESDM, setiap penurunan harga minyak sebesar USD 1 per barel dapat mengurangi penerimaan negara hingga Rp1,3 triliun per tahun. Dalam jangka panjang, bila tren harga tetap rendah, ini akan berdampak pada ketahanan fiskal negara.
“Kita senang harga turun, tapi jangan lupa, APBN 2025 disusun dengan asumsi harga minyak USD 82 per barel. Kalau realisasinya jauh lebih rendah, pemerintah harus menutup selisihnya,” jelas ekonom dari INDEF, Tauhid Ahmad.
Kebijakan Pemerintah: Bertindak atau Menunggu?
Hingga hari ini, pemerintah belum mengumumkan kebijakan resmi terkait dampak gencatan senjata terhadap harga BBM domestik. PT Pertamina sendiri menyatakan akan melakukan evaluasi berkala, namun belum tentu menurunkan harga secara langsung, mengingat ada mekanisme subsidi dan dana kompensasi yang kompleks.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut bahwa pihaknya sedang mengkaji ulang asumsi makro ekonomi pasca peristiwa geopolitik ini.
Pasar Keuangan Menyambut Hati-hati
IHSG dibuka menguat tipis di pagi hari, mencerminkan optimisme terhadap turunnya tekanan inflasi energi. Namun kemudian melemah di sesi kedua karena investor masih menilai bahwa gencatan senjata ini belum tentu bertahan lama. Nilai tukar rupiah sedikit menguat ke level Rp15.270 per dolar AS, didorong masuknya kembali modal asing ke pasar obligasi.
Ketegangan Belum Selesai: Apakah Gencatan Senjata Akan Bertahan?
Meski gencatan senjata ini merupakan kemajuan diplomatik, para pengamat menilai perdamaian ini masih rapuh. Tidak ada jaminan bahwa kesepakatan ini akan bertahan dalam jangka panjang, apalagi mengingat sejarah panjang permusuhan dan banyaknya aktor lain yang terlibat, termasuk kelompok militan di Gaza dan Lebanon.
“Ini bukan perdamaian sejati, ini hanya jeda. Tapi jeda ini bisa menjadi pintu masuk menuju solusi lebih besar,” ujar Duta Besar Qatar untuk PBB, Khalid Al-Attiyah.
Indonesia Harus Adaptif
Kabar gencatan senjata Iran-Israel adalah momen penting dalam dinamika geopolitik global yang langsung berdampak pada ekonomi nasional Indonesia. Pemerintah harus sigap menyesuaikan kebijakan fiskal dan energi, agar dapat mengambil keuntungan dari stabilisasi harga, namun tetap waspada terhadap potensi gejolak baru.
Bagi masyarakat, ini bisa berarti peluang penurunan harga BBM, namun juga bisa memunculkan kebijakan fiskal ketat jika pendapatan negara dari sektor energi terus.
0 komentar:
Posting Komentar