Api di ujung pulau
Ketegangan politik mencuat ke permukaan ketika kabar tentang empat pulau terluar di wilayah Aceh Singkil disebut-sebut tengah berada dalam sengketa administratif antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Isu ini memanas setelah Bobby Nasution, Wali Kota Medan yang juga menantu Presiden Jokowi, diduga mendorong upaya penegasan batas wilayah yang menurut Pemerintah Aceh dianggap melanggar kedaulatan administratif mereka.
Warga mulai resah. Pemerhati hukum otonomi daerah pun angkat suara. Apakah benar ada “perebutan wilayah”? Ataukah ini hanya salah tafsir akibat lemahnya koordinasi lintas provinsi dan kabur-nya batas administratif di lapangan?
Dari peta kabur ke konflik terbuka
Mengapa ini menjadi sensitif ?
Apa kata pemerintah pusat?
Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan menyatakan bahwa proses penegasan batas wilayah masih dalam tahap klarifikasi dan mediasi. Pemerintah pusat menyerukan agar tidak ada pihak yang melakukan kegiatan apapun di wilayah yang masih dalam proses klarifikasi administratif.
Namun demikian, pernyataan ini belum sepenuhnya meredam isu. Pemerintah Aceh tetap mendesak adanya pengakuan resmi bahwa pulau-pulau tersebut adalah bagian dari wilayah Aceh berdasarkan dokumen historis dan hukum adat setempat.
Respon masyarakat dan dan tokoh lokal
Jalan tengah: apa yang bisa di lakukan
Rebutan wilayah atau salah komunikasi?
Apakah ini benar-benar perebutan wilayah, atau sekadar miskomunikasi antar provinsi yang diperkeruh oleh dinamika politik? Sampai saat ini, belum ada deklarasi terbuka bahwa salah satu pihak secara sepihak merebut pulau milik pihak lain. Namun, tindakan administratif sepihak, ditambah ketegangan politik menjelang Pilkada 2024, membuat isu ini membesar.
Yang jelas, menyelesaikan persoalan batas wilayah tidak bisa dilakukan dengan ego, tapi dengan data, hukum, dan musyawarah. Jika tidak, “pulau kecil” bisa menjadi api besar yang mengancam harmoni antardaerah.
Reaksi dari aceh
Keputusan ini memicu respons keras dari berbagai elemen di Aceh. DPR Aceh, tokoh masyarakat, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil menyatakan bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi khusus Aceh dan mengancam integritas wilayah mereka.
Banyak pihak menuding bahwa Aceh tidak dilibatkan secara proporsional dalam proses pengambilan keputusan ini. Beberapa unjuk rasa bahkan telah digelar di Aceh Singkil dan Banda Aceh, menuntut Presiden Prabowo membatalkan keputusan tersebut.
Wakil Ketua DPR Aceh menyebut keputusan itu sebagai “pengingkaran sejarah dan realitas sosial masyarakat Aceh.” Sementara itu, sejumlah akademisi menilai keputusan tersebut dapat menjadi preseden buruk dalam penyelesaian tapal batas daerah di masa mendatang, terutama di wilayah yang memiliki status otonomi khusus.
Keputusan akhir
Pemerintah sudah memutuskan sangketa 4 pulau yang di perebutkan pemrov sumatera utara (SUMUT) dan aceh. presiden Prabowo subianto memutuskan 4 pulau itu sah milik pemrov aceh. hal itu di sampaikan pada konferensi pers mensesneg prasetyo hadi di kantor presiden, istana kepresiden, jakarta selasa (17/6/25).turut hadir wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad,mendagri tito karnivan ,Gebenur Sumut Bobby Nasution dan Gebenur Aceh Muzakir manap atau mualem.
Prasetyo mengatakan pihaknya sudah menggelar rapat terbatas pada Selasa (17/6), membahas sengketa polemik 4 pulau, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
"Rapat terbatas dalam rangka mencari jalan keluar terhadap permasalahan dinamika 4 pulau di Sumut dan di Aceh," kata Prasetyo.Prasetyo mengatakan, berdasarkan dokumen dan data pendukung telah diambil keputusan. Pemerintah mengambil keputusan 4 pulau tersebut sah milik Pemprov Aceh.
"Berdasarkan laporan dari Kemendagri, berdasarkan dokumen data pendukung, kemudian tadi Bapak Presiden telah memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan kepada dasar-dasar dokumen yang dimiliki pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, kemudian Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, secara administrasi berdasarkan dokumen yang dimiliki pemerintah adalah masuk wilayah administrasi Aceh," ujarnya.
Empat pulau yang direbutkan itu menjadi polemik karena disebut berada di wilayah Sumut berdasarkan keputusan Kemendagri. Padahal keempat pulau tersebut awalnya merupakan bagian dari wilayah Aceh.Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Kemendagri ternyata mendukung klaim Gubernur Sumut Bobby Nasution lewat Keputusan Mendagri yang terbit pada 25 April 2025.
Proses perubahan status keempat pulau tersebut telah berlangsung sebelum 2022, jauh sebelum Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah menjabat. Pada 2022, beberapa kali telah difasilitasi rapat koordinasi dan survei lapangan oleh Kementerian Dalam Negeri," kata Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, dalam keterangannya, Senin (26/5).
Pihak Pemprov Aceh pun tidak menerima keputusan tersebut. Peninjauan ulang keputusan tersebut diperjuangkan Pemprov Aceh. Kemendagri menjelaskan kisruh 4 pulau tersebut bermula dengan adanya perubahan nama pulau yang diajukan Pemprov Aceh pada 2009.Dirjen Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri Safrizal Zakaria Ali menyebutkan, pada saat itu, tim nasional pembakuan rupabumi Kemendagri mendapati ada 213 pulau di wilayah Sumut. Dia mengatakan, dari jumlah tersebut, termasuk Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang."Hasil verifikasi tersebut, mendapat konfirmasi dari Gubernur Sumatera Utara, lewat surat nomor sekian, nomor 125, tahun 2009 yang menyatakan bahwa provinsi Sumatera terdiri di 213 pulau, termasuk empat pulau yang tadi, yang empat pulau itu," jelas Safrizal saat jumpa pers di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (11/6).
0 komentar:
Posting Komentar