Secara definisi, gencatan senjata adalah penghentian sementara konflik bersenjata yang disepakati oleh pihak-pihak yang bertikai. Tujuannya bisa bermacam-macam: kemanusiaan, evakuasi, perundingan, atau bahkan semata-mata tekanan internasional. Namun dalam praktiknya, gencatan senjata tidak selalu mencerminkan niat damai. Sering kali, kesepakatan ini menjadi alat taktis untuk mengulur waktu, menyusun ulang strategi militer, atau mendapatkan simpati publik dunia.
Contoh konkret adalah berbagai gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hamas di Gaza. Hampir setiap gencatan senjata sejak awal tahun 2000-an berakhir dengan pelanggaran oleh salah satu pihak dalam waktu singkat. Situasi serupa terjadi di Ukraina, di mana perjanjian Minsk I dan II tidak pernah benar-benar menghentikan kontak senjata antara pasukan Ukraina dan separatis pro-Rusia.
Kepentingan Politik di Balik Perdamaian Palsu
Gencatan senjata seringkali menjadi ajang “politik senjata”. Pihak-pihak yang bertikai kerap memanfaatkan jeda ini untuk memperkuat posisi tawar mereka di medan diplomasi maupun peperangan. Dalam banyak kasus, kelompok bersenjata menggunakan waktu gencatan untuk memperbaiki logistik, mengatur ulang posisi tempur, atau mendapatkan kembali legitimasi publik. Sementara negara-negara pendukung di belakang layar (proxy states) sering memainkan peran ganda: menyerukan perdamaian di forum internasional, sembari tetap menyuplai senjata dan logistik di belakang layar.
Perang bukan hanya soal militer. Ini juga tentang narasi. Saat satu pihak menyatakan gencatan senjata, ia dapat membingkai dirinya sebagai pihak yang cinta damai. Ketika kesepakatan gagal, pihak lain yang dianggap melanggar akan disudutkan secara moral, meskipun fakta di lapangan sangat kompleks.
Diplomasi yang Terputus dari Realitas Akar Rumput
Salah satu penyebab utama kegagalan gencatan senjata adalah karena proses perundingan sering hanya melibatkan elit-elit politik atau militer, tanpa partisipasi masyarakat sipil atau kelompok korban yang terdampak langsung. Akibatnya, kesepakatan damai menjadi rapuh karena tidak mencerminkan realitas sosial dan emosional di lapangan.
Dalam banyak konflik, seperti Suriah atau Yaman, aktor-aktor bersenjata lokal tidak selalu memiliki kontrol penuh terhadap faksi-faksi di lapangan. Maka, sekalipun kesepakatan tercapai di atas kertas, implementasinya di lapangan sangat sulit. Tidak adanya struktur komando yang terpusat, lemahnya mekanisme pemantauan, serta tidak adanya sanksi jelas atas pelanggaran menjadi faktor-faktor kegagalan utama.
Gencatan Senjata sebagai Alat Propaganda
Bagi banyak negara atau kelompok, gencatan senjata merupakan cara efektif untuk mengelola persepsi publik internasional. Seruan untuk damai bisa digunakan untuk mendapatkan simpati, bantuan internasional, atau melegitimasi tindakan sebelumnya. Dalam konteks ini, gencatan senjata bukanlah tujuan, melainkan alat untuk membentuk narasi yang menguntungkan secara politik.
Contohnya, dalam konflik Israel–Hamas, masing-masing pihak berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah korban dan pihak yang lebih bermoral. Gencatan senjata menjadi bagian dari upaya itu—bukan sebagai solusi permanen, tetapi sebagai jeda propaganda.
Tidak Menyentuh Akar Masalah
sebagian besar konflik bersenjata berakar pada persoalan struktural: ketidakadilan politik, diskriminasi etnis, pengusiran, perampasan tanah, atau kolonisasi. Jika gencatan senjata hanya menyasar permukaan konflik (yaitu hentikan tembakan), tanpa menyelesaikan akar penyebabnya, maka perang hanyalah soal waktu.
Perjanjian damai yang sukses, seperti yang terjadi di Aceh (2005) atau di Afrika Selatan pasca-Apartheid, tidak hanya menghentikan senjata, tetapi juga merombak sistem politik, membangun keadilan transisional, dan melibatkan korban dalam proses rekonsiliasi. Gencatan senjata tanpa transformasi struktural hanya akan jadi jeda, bukan penyelesaian.
Peran Lemah Komunitas Internasional
PBB dan lembaga internasional lain sering berada di garis depan dalam mendorong gencatan senjata. Namun, mereka sering tak memiliki cukup kekuatan untuk menegakkan kesepakatan itu. Resolusi Dewan Keamanan bisa dengan mudah diveto oleh negara besar, sementara misi perdamaian kerap kekurangan dana, mandat, dan perlindungan hukum yang kuat.
Akibatnya, pelanggaran gencatan senjata sering terjadi tanpa konsekuensi nyata. Tidak ada sanksi, tidak ada intervensi, tidak ada pengadilan. Hal ini mendorong aktor-aktor konflik untuk terus bermain di zona abu-abu hukum internasional.
Gencatan Senjata Bukan Akhir, Tapi Ujian
Gencatan senjata seharusnya menjadi langkah awal menuju perdamaian, bukan pengganti dari perdamaian itu sendiri. Untuk membuatnya bertahan, diperlukan lebih dari sekadar kesepakatan atas kertas. Diperlukan keterlibatan nyata dari semua pihak—negara, kelompok bersenjata, masyarakat sipil, dan komunitas internasional—untuk menyentuh akar masalah, menciptakan keadilan, dan membangun kepercayaan.
Selama diplomasi masih dipakai sebagai alat taktik, bukan sebagai komitmen moral dan politik untuk perdamaian jangka panjang, maka gencatan senjata akan terus menjadi sandiwara berulang: diumumkan dengan harapan, dan runtuh dalam kekecewaan.