Rabu, 09 Juli 2025

“Trump Ancam Naikkan Tarif Negara BRICS, China Akhirnya Buka Suara”


presiden AS :Donald Trump

Rencana Presiden Donald Trump menerapkan tarif impor tambahan kepada negara BRICS termasuk Indonesia menjadi sorotan berita internasional pada Senin (7/7).Calon-calon Duta Besar RI yang bakal dilantik Presiden Prabowo Subianto juga turut menjadi perhatian. Berikut kilas berita internasional.

China menegaskan negara-negara anggota BRICS tak berniat meletuskan perang dagang dengan Amerika Serikat.Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan BRICS tidak berupaya mencari konfrontasi dengan AS menyusul pernyataan bersamanya yang membuat marah Presiden AS Donald Trump.

"Mengenai pengenaan tarif, China telah berulang kali menyatakan bahwa perang dagang dan tarif tak akan melahirkan pemenang dan proteksionisme tidak menawarkan jalan keluar," kata Mao, seperti dikutip AFP, Senin (7/7).

Nama Nurmala Kartini Sjahrir menjadi sorotan publik setelah diusulkan Presiden Prabowo Subianto sebagai calon Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang.Tokoh perempuan senior ini menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di hadapan Komisi I DPR RI pada Sabtu, 7 Mei 2025.

Penunjukan ini merupakan bagian dari daftar 24 nama calon duta besar yang diajukan Presiden Prabowo.

Senin, 07 Juli 2025

Terjebak Algoritma: Sisi Gelap Media Sosial yang Perlu kamu Waspadai



Dunia yang Tak Lagi Netral

Di era digital, hampir setiap detik hidup kita bersinggungan dengan media sosial. Kita bangun tidur dengan notifikasi, bekerja dengan jeda-scroll, dan tidur setelah menyimak video terakhir yang "kebetulan" muncul di beranda. Tapi semua itu bukan kebetulan. Di balik layar ponsel kamu , algoritma bekerja dalam senyap—mengatur, memilih, dan menyodorkan apa yang dianggap cocok bagi kamu  Bukan untuk membuat kamu pintar, tapi agar kamu betah.

Media sosial mungkin tampak gratis, tapi kenyataannya kamu adalah produknya. Artikel ini mengajak kamu  menyadari sisi gelap dari kecanggihan algoritma media sosial—karena semakin lama kita tak sadar, semakin dalam kita terjebak.

1. Bagaimana Algoritma Mengendalikan Perhatian kamu

Algoritma media sosial adalah sistem kecerdasan buatan yang dirancang untuk memprediksi dan membentuk perilaku pengguna. Setiap likes, komentar, waktu tayang, bahkan berapa detik kamu  berhenti di satu unggahan, semuanya dicatat. Data ini diproses agar platform bisa memberi kamu  konten yang “membuat kamu tetap di sana.”

Hal ini membuat beranda kamu tidak netral—ia dikurasi khusus untuk kamu tapi dengan satu tujuan utama: memaksimalkan waktu penggunaan, bukan memberi manfaat.

Contohnya:

  • Video yang membangkitkan kemarahan, konflik, atau kejutan lebih sering ditampilkan.

  • Konten edukatif kalah pamor dengan video singkat berisi sensasi atau drama

2. Ketagihan yang Didisain:kamu Tidak Lemah, kamu  Dirancang untuk Kecanduan

Media sosial dirancang untuk meniru pola adiktif seperti mesin judi. Setiap kali kamu menyegarkan beranda dan melihat konten baru, otak kamu mendapatkan dopamin—zat kimia kebahagiaan. Tapi seperti candu, dosisnya terus meningkat.

Desain seperti:

  • Scroll tak terbatas (infinite scroll)

  • Autoplay otomatis

  • Notifikasi yang dibuat personal

...semua bertujuan satu: jangan berhenti

Dalam jangka panjang, ini berdampak pada:

  • Gangguan fokus dan perhatian

  • Insomnia

  • Penurunan produktivitas

  • Kecemasan saat tidak membuka media sosial (FOMO)

3. Filter Bubble dan Echo Chamber: Dunia Semakin Sempit

Algoritma akan terus menyodorkan konten serupa dari apa yang kamu sukai atau percayai. Akibatnya, kamu akan:

  • Hanya melihat sudut pandang yang sama (filter bubble)

  • Terjebak dalam ruang gema (echo chamber), di mana semua orang setuju dengan kamu

Dampaknya sangat berbahaya dalam konteks sosial-politik:

  • Meningkatkan polarisasi

  • Menyebabkan misinformasi atau hoaks menyebar cepat

  • Membuat masyarakat semakin sulit berdialog dengan pihak berbeda pendapat

kamu  mungkin merasa makin yakin akan kebenaran kamu  padahal itu hanya hasil dari paparan informasi sepihak yang diatur algoritma.

4. Dampak Psikologis: Dunia Maya yang Merusak Citra Diri

Di media sosial, orang menampilkan versi terbaik dari diri mereka—tubuh ideal, liburan mahal, pasangan sempurna, kehidupan sukses. Ini menciptakan standar yang tak realistis dan membuat banyak orang merasa gagal hanya karena tidak hidup “seindah itu.”

Efeknya:

  • Kecemasan sosial dan perbandingan diri

  • Depresi, terutama di kalangan remaja

  • Body image issues

  • Perasaan kesepian meski selalu ‘terhubung’

Ironisnya, media sosial yang disebut menghubungkan kita justru menciptakan jurang emosional antara kenyataan dan persepsi.

5. Privasi dan Eksploitasi Data: kamu Diawasi Tanpa Sadar

Untuk bisa bekerja, algoritma butuh data kamu . Semua interaksi kamu  lokasi, pencarian, bahkan gerakan jari kamu di layar bisa direkam dan dipelajari. Tujuannya? Untuk dijual ke pengiklan dan pembuat konten agar bisa menarget kamu lebih spesifik.

Masalahnya:

  • Banyak platform tidak transparan tentang data apa yang dikumpulkan.

  • Data bisa bocor, disalahgunakan, atau dimanipulasi.

  • kamu tidak pernah benar-benar "offline".

Slogan “jika gratis, maka kamu adalah produknya” bukan lelucon—itu kenyataan.

6. Disinformasi dan Manipulasi Opini Publik

Media sosial telah menjadi alat manipulasi politik. Dari pemilu di Amerika, Brexit, hingga penyebaran ujaran kebencian di berbagai negara, algoritma terbukti membantu memperluas jangkauan konten yang sensasional meski tidak akurat.

Banyak pihak memanfaatkan algoritma untuk:

  • Menyebarkan propaganda

  • Menargetkan kelompok tertentu dengan konten manipulatif

  • Menggerakkan massa secara digital demi agenda tertentu.

7. Apa yang Bisa Kita Lakukan? Strategi Bertahan di Era Algoritma

a. Sadar Digital (Digital Awareness)

Pahami bahwa semua yang kamu  lihat telah dikurasi. Jangan langsung percaya dan pelajari cara kerja platform yang Anda gunakan.

b. Kelola Waktu dan Notifikasi

Gunakan aplikasi pemantau screen time. Matikan notifikasi yang tidak penting. Atur waktu khusus untuk menggunakan media sosial.

c. Diversifikasi Sumber Informasi

Ikuti akun dengan perspektif berbeda. Baca dari media luar. Jangan biarkan algoritma mengurung kamu dalam gelembung sempit.

d. Prioritaskan Konten Berkualitas

Berinteraksilah dengan konten edukatif, humanis, dan informatif agar algoritma belajar bahwa itu yang kamu sukai.

e. Jangan Takut Rehat

Detoks digital adalah hal sehat. Bahkan satu hari tanpa media sosial bisa berdampak besar bagi kesehatan mental.

Algoritma Tak Berniat Jahat Tapi Kita Perlu Waspada

Algoritma tidak jahat, tapi ia dirancang untuk menjaga perhatian kamu , bukan menjagakamu.
Ia tak tahu perbedaan antara konten edukatif dan hoaks, antara inspirasi dan tekanan mental—selama kamu klik, like, dan tonton, itu berarti berhasil.

Di zaman di mana atensi menjadi komoditas, kesadaran adalah bentuk kebebasan terakhir. Jangan biarkan dunia yang didesain orang lain menentukan cara kamu  berpikir, merasa, dan melihat diri sendiri. Kitalah yang seharusnya mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya.

BRICS Melejit: Ekonomi Kolektif Tembus Rp 490.000 Triliun, RI Berapa?



Negara-negara anggota BRICS resmi menggelar pertemuan tingkat tinggi (KTT) dalam forum 17th BRICS Summit yang berlangsung pada 6-7 Juli 2025 di Rio de Janeiro, Brasil.

Pertemuan tahun ini menandai pertama kalinya Indonesia hadir secara resmi sebagai anggota penuh BRICS, ini menjadi langkah penting dalam reposisi peran Indonesia di kancah ekonomi dan geopolitik global. Kehadiran Indonesia dinilai akan memperkuat posisi BRICS sebagai aliansi ekonomi negara berkembang dengan pengaruh yang semakin besar dalam tatanan global.

Para pemimpin negara-negara BRICS pada Minggu (6/7/2025), menyambut Indonesia sebagai anggota penuh BRICS, hal ini bersamaan dengan masuknya 10 negara mitra BRICS.

"Kami menyambut Republik Indonesia sebagai anggota BRICS, demikian pula Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Nigeria, Malaysia, Thailand, Vietnam, Uganda, dan Uzbekistan sebagai negara mitra BRICS," Ujar Pemimpin BRICS dikutip dari ddnews.

BRICS pada awalnya didirikan pada tahun 2009 dengan negara awalnya adalah Brazil, Rusia, India, dan China. Namun pada tahun 2010, Afrika Selatan resmi bergabung sebagai anggota BRICS. Setelah itu pada tahun lalu, BRICS resmi menambah anggota baru sejumlah enam negara, mulai dari Mesir, Indonesia, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.

Jika dilihat skala ekonomi negara-negara anggota BRICS, tercatat total Growth Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) gabungan mencapai US$30,2 triliun atau setara dengan Rp489.546 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1) berdasarkan data GDP 2024. 

Angka tersebut mencerminkan sekitar 27% dari total GDP global, yang mencapai USS111,3 triliun atau setara dengan Rp1.806.699 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1). Capaian ini menunjukkan posisi strategis BRICS sebagai blok ekonomi negara berkembang yang memiliki kontribusi signifikan dalam perekonomian dunia.

Dalam KTT BRICS 2025 di Brasil, BRICS menyoroti tentang beberapa kondisi terkini geopolitik dan ekonomi global.

Dalam KTT tersebut, BRICS mengutuk keras serangan terhadap Gaza dan Iran, serta mendesak reformasi institusi global, serta menegaskan posisi BRICS sebagai kekuatan multilateral baru yang siap mengisi kekosongan diplomasi internasional.

Selain itu, BRICS juga turut membahas mengenai penetapan tarif resiprokal yang tengah di mainkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, BRICS menilai ini sebagai ancaman serius terhadap sistem perdagangan global. Kritik ini secara implisit diarahkan pada kebijakan proteksionis Trump, yang dari awal masa jabatannya mengedepankan agenda "America First".

Jika melihat skala ekonomi negara-negara mitra BRICS, total GDP gabungan mereka mencapai sekitar US$3,8 triliun, atau setara dengan Rp61.674 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1)

Dengan demikian, jika digabungkan antara kekuatan ekonomi negara-negara anggota BRICS dan para mitranya, total GD Pkolektif mencapai sekitar US$34 triliun atau setara dengan Rp552.420 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1). Angka ini menegaskan posisi BRICS dan mitranya sebagai kekuatan ekonomi global yang tidak bisa diabaikan.

Bagi Indonesia yang menandai pertama kalinya hadir di KTT BRICS sebagai anggota resmi merupakan kesempatan strategis untuk memperkuat praktik diplomasi ekonomi yang bebas dan aktif, sekaligus memperluas peran dalam proses pengambilan keputusan di tingkat global. Dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten, Indonesia berpotensi menjadi salah satu kekuatan utama dalam mewujudkan masa depan BRICS yang lebih inklusif dan berdaya saing tinggi.

Minggu, 06 Juli 2025

Netral Tapi Tak Bebas: Dilema Indonesia di Tengah Krisis Global



 Dalam panggung politik internasional yang kian memanas—dari perang di Ukraina, konflik Israel-Iran, hingga rivalitas Tiongkok-Amerika Serikat—Indonesia berdiri di tengah pusaran, membawa bendera netralitas yang sudah lama dipegang sejak era Konferensi Asia-Afrika. Tapi di balik prinsip "bebas aktif" yang diagung-agungkan, muncul pertanyaan besar: benarkah Indonesia bebas? Atau justru netralitas itu menyandera pilihan dan arah kebijakan luar negeri kita?

Prinsip Lama dalam Dunia Baru

Prinsip netralitas Indonesia bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Sejak Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, Indonesia sudah menegaskan posisinya: tidak memihak blok Barat atau Timur. Presiden Soekarno waktu itu ingin membangun solidaritas negara-negara baru di Asia dan Afrika, yang tidak ingin jadi pion dalam Perang Dingin.

Namun, zaman berubah. Ketika dunia saat ini tidak lagi hanya dibelah oleh ideologi, melainkan juga oleh kekuatan ekonomi dan militer, netralitas menjadi lebih rumit dan penuh risiko. Tidak lagi cukup untuk hanya ‘berdiri di tengah’—karena pihak-pihak yang bertikai menuntut kejelasan sikap..

Contohnya:

Kasus Rusia-Ukraina: Diam yang Menggema

Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, banyak negara dunia mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan kedaulatan negara. Indonesia, meski menyuarakan keprihatinan dan menyerukan perdamaian, menolak mengecam Rusia secara langsung.

Hal ini menimbulkan reaksi beragam. Di dalam negeri, sebagian publik mendukung langkah pemerintah sebagai bagian dari “diplomasi damai.” Tapi di dunia internasional, khususnya Barat, sikap ini dianggap ambigu.

Fakta bahwa Indonesia tetap mengundang Rusia dalam forum-forum internasional seperti G20 menambah kesan bahwa Indonesia lebih mementingkan stabilitas dan hubungan ekonomi ketimbang prinsip moral internasional. Sekali lagi, netralitas Indonesia diuji: Apakah ini strategi bijak atau ketidaktegasan?

Konflik Timur Tengah: Antara Sentimen Publik dan Diplomasi Strategis

Isu Palestina selalu menjadi titik sensitif bagi politik luar negeri Indonesia. Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina menjadi bagian dari DNA diplomatik Indonesia. Namun ketika konflik Israel-Iran memanas, Indonesia menghadapi dilema baru.

Di satu sisi, opini publik sangat mendukung Palestina dan mengecam Israel. Tapi di sisi lain, Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara Arab Teluk, yang kini mulai menormalisasi hubungan dengan Israel. Di tengah tekanan itu, Indonesia tetap mengutuk tindakan kekerasan namun tidak serta merta mengambil sikap ekstrem seperti pemutusan hubungan diplomatik dengan negara tertentu.

Pertanyaannya: apakah ini bentuk diplomasi seimbang atau ketakutan kehilangan kepentingan ekonomi dan politik?

Kepentingan Ekonomi vs Prinsip Moral

Indonesia kini bukan sekadar negara berkembang yang “bebas bersuara.” Kita sudah terhubung dalam jaringan ekonomi global—dari investasi Tiongkok di infrastruktur hingga kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat. Netralitas menjadi medan yang licin: di satu sisi menjaga kestabilan dalam negeri, di sisi lain harus bermanuver agar tak kehilangan mitra dagang utama.

Konflik Timur Tengah juga jadi ujian. Ketika sentimen publik mendorong dukungan terhadap Palestina, pemerintah harus berhati-hati agar tidak merusak hubungan dengan negara-negara Teluk dan mitra strategis lain.

Tekanan Domestik dan Internasional

Netralitas Indonesia juga diganggu oleh tekanan dalam negeri: opini publik yang vokal, politik identitas, dan keinginan elit politik untuk tampil “berwibawa” di kancah global. Tapi dunia luar tak selalu melihat niat baik. Banyak negara Barat kini menilai netralitas sebagai ketidakjelasan posisi. Padahal, Indonesia mengklaim peran sebagai juru damai atau fasilitator.

Yang lebih rumit, Indonesia sering terjebak dalam diplomasi simbolik: kunjungan, pidato, atau mediasi yang tak membuahkan hasil konkret. Netralitas jadi semacam pertunjukan, bukan strategi nyata.

Netral, Tapi ke Mana Arah Kita?

Menjadi netral bukan berarti tak memilih sisi. Ini tentang bagaimana Indonesia bisa tetap berdaulat dalam keputusan, namun tetap responsif terhadap dinamika global. Tantangannya adalah:

  • Bagaimana bersikap tegas tanpa kehilangan hubungan strategis?

  • Bagaimana menjaga prinsip tanpa terisolasi secara ekonomi?

  • Bagaimana memainkan peran global tanpa jadi pion dalam permainan besar?

Netral Bukan Berarti Tidak Bertindak

Di dunia yang makin kompleks dan terpecah, sikap netral bukan berarti diam atau pasif. Netralitas adalah seni berjalan di atas tali diperlukan keseimbangan, kecermatan, dan keberanian.

Indonesia punya peluang untuk menjadi suara yang independen dan dihormati, tapi itu hanya bisa terjadi jika netralitas dibarengi dengan kejelasan arah, integritas moral, dan keberanian diplomatik. Di era krisis global, netral tapi tak bebas hanya akan membuat kita terdorong arus, bukan mengendalikannya.

Sabtu, 05 Juli 2025

Generasi Sandwich dan Tekanan Finansial: Siapa Peduli?

 


Di balik wajah-wajah produktif para pekerja usia 25–45 tahun, tersembunyi satu beban tak terlihat namun sangat nyata: menjadi generasi sandwich. Mereka bukan sekadar generasi yang harus bekerja keras membangun masa depan—mereka juga menjadi tumpuan utama bagi dua generasi lainnya: orang tua yang menua dan anak-anak yang sedang tumbuh.

Di banyak keluarga Asia, termasuk Indonesia, nilai-nilai seperti bakti kepada orang tua dan tanggung jawab terhadap anak dianggap mutlak. Namun, ketika tanggung jawab ini bertumpuk dalam satu piring kehidupan tanpa dukungan sistemik yang memadai, muncullah tekanan finansial, emosional, dan bahkan mental yang luar biasa besar.

“Generasi Sandwich: Hidup di Antara Dua Kewajiban, Tanpa Pilihan”

Di pagi hari, mereka mengantar anak ke sekolah. Di malam hari, mereka mengantar orang tua ke rumah sakit. Di siang bolong, mereka mengejar tenggat kerja. Di akhir bulan, mereka mengejar utang yang belum lunas. Mereka adalah generasi sandwich—generasi terjepit yang diam-diam memanggul dua beban besar tanpa peta jalan.

Kita sering memuja kerja keras, menyulut semangat produktif, dan menyebarkan kutipan motivasi: “Kamu pasti bisa!”. Tapi siapa yang benar-benar bertanya: Apakah kamu baik-baik saja?

Siapa Itu Generasi Sandwich?

Istilah “generasi sandwich” merujuk pada kelompok individu dewasa yang secara bersamaan menanggung kebutuhan finansial dan emosional orang tua serta anak-anak mereka. Mereka “terjepit” di antara dua generasi, mirip dengan daging dalam sepotong roti sandwich.

Misalnya, seorang pria berusia 35 tahun bisa saja harus membiayai pengobatan ibunya yang sakit kronis, membayar uang sekolah dua anak, mencicil KPR, dan tetap tampil sebagai karyawan teladan di kantor. Semua dilakukan dalam waktu bersamaan—tanpa jeda.

Tanggung Jawab Berlapis Tanpa Kompensasi

Masalah utama generasi sandwich adalah keuangan. Berikut beberapa bentuk tekanan yang paling umum:

  • Biaya hidup yang terus naik: Kenaikan harga kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan yang signifikan.

  • Ketiadaan dana pensiun orang tua: Banyak orang tua dari generasi ini tidak memiliki tabungan hari tua, membuat anak menjadi satu-satunya tumpuan.

  • Anak-anak yang semakin mahal: Pendidikan yang kompetitif dan kebutuhan gawai, kursus, hingga biaya sosial menjadikan anak-anak “investasi” jangka panjang yang mahal.

  • Utang konsumtif dan cicilan: Dari cicilan rumah, kendaraan, hingga kartu kredit—semuanya menumpuk dan menggerus penghasilan bulanan.

Lebih buruk lagi, banyak dari generasi ini juga belum bisa menabung untuk masa tua mereka sendiri karena semua uang habis untuk kebutuhan saat ini.

Dimensi Psikologis: Lelah Tak Terucapkan

Tak hanya dari sisi keuangan, generasi sandwich juga rentan terhadap tekanan psikologis. Mereka kerap merasa bersalah karena tak bisa sepenuhnya hadir untuk orang tua maupun anak. Mereka pun kerap mengalami:

  • Burnout kronis

  • Gangguan kecemasan dan depresi

  • Perasaan gagal atau tidak cukup baik

Dan karena budaya kita sering kali menormalisasi pengorbanan sebagai tanda kasih, banyak dari mereka yang merasa tak punya ruang untuk mengeluh. Kalimat seperti “Namanya juga anak” atau “Itu sudah kewajibanmu” justru menambah luka yang seharusnya bisa diobati dengan empati dan pemahaman.

Lalu, Siapa Peduli?

Itulah pertanyaan paling menyakitkan—karena jawabannya sering kali: hampir tidak ada.

Pemerintah belum memiliki skema kebijakan yang komprehensif untuk menopang kelompok ini, baik melalui subsidi pendidikan, layanan kesehatan lansia, maupun jaminan sosial yang kuat. Sektor swasta pun masih melihat stres karyawan sebagai masalah individu, bukan sistemik.

Masyarakat pun lebih banyak menghakimi dibanding memahami. Di media sosial, mereka yang mengeluh tentang kelelahan hidup sering dituding “kurang bersyukur”. Alih-alih didengarkan, mereka dibungkam dengan kalimat motivasi semu.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Meski tantangannya besar, bukan berarti generasi sandwich tidak punya harapan. Berikut beberapa langkah yang bisa menjadi solusi, setidaknya dalam jangka menengah:

  1. Perencanaan keuangan yang realistis
    Konsultasi keuangan dan budgeting sangat penting. Mengelola utang dan membuat prioritas bisa mengurangi beban.

  2. Komunikasi terbuka dalam keluarga
    Mengajak orang tua dan pasangan berdiskusi tentang kemampuan finansial akan menciptakan pemahaman bersama.

  3. Mendorong kebijakan publik yang berpihak
    Generasi sandwich harus bersuara dalam ruang demokrasi, mendorong pemerintah menghadirkan skema perlindungan sosial yang kuat

  4. Merawat kesehatan mental
    Konseling, support group, atau bahkan sekadar berbicara dengan teman yang mengerti bisa sangat membantu.

Kapan Mereka Bisa Hidup untuk Diri Sendiri?

Pertanyaan besar yang jarang dijawab: kapan generasi sandwich bisa hidup hanya untuk dirinya sendiri?

Jawabannya? Mungkin nanti. Setelah orang tua tutup usia. Setelah anak-anak mandiri. Setelah utang selesai. Tapi siapa yang menjamin mereka masih sehat? Masih utuh? Masih punya semangat hidup?

Bukan Menuntut, Tapi Mengajak Peduli

Ini bukan seruan untuk memberontak pada keluarga. Ini bukan ajakan untuk lari dari tanggung jawab. Tapi ini adalah pengingat bahwa generasi sandwich juga manusia. Mereka butuh ruang untuk bernapas, bukan hanya untuk berjuang.

Kita bisa mulai dari hal sederhana:

  • Memberi cuti yang lebih fleksibel bagi pekerja yang mengurus lansia.

  • Mendorong pendidikan literasi keuangan sejak dini.

  • Membuka forum diskusi publik soal kesehatan mental dalam keluarga.

  • Dan yang paling penting: berhenti menghakimi pilihan hidup orang.

Generasi sandwich tidak selalu bersuara. Tapi mereka ada. Mereka lelah, namun tetap berjalan. Mereka diam, tapi tidak menyerah. Di tengah dunia yang sibuk membicarakan “healing” dan “self love”, mungkin sudah saatnya kita bertanya: siapa yang membantu mereka yang bahkan tak sempat mencintai dirinya sendiri?

Jumat, 04 Juli 2025

Apa Kata Ilmu Tentang Makan Malam Lewat Jam 8?



 Kebiasaan makan malam di atas pukul 8 malam seringkali dikaitkan dengan gaya hidup modern—aktivitas kerja yang panjang, kemacetan lalu lintas, hingga pola tidur yang bergeser ke larut malam. Namun, dari sudut pandang ilmu gizi dan kesehatan metabolik, kebiasaan ini dapat membawa dampak yang signifikan terhadap tubuh, terutama jika menjadi kebiasaan jangka panjang.

Apa Itu Late-Night Eating?

Dalam literatur ilmiah, makan malam lewat dari pukul 8 malam dikategorikan sebagai late-night eating atau "makan larut malam". Tidak ada batas waktu yang universal, tetapi banyak penelitian menetapkan pukul 8 malam sebagai ambang batas waktu makan malam yang "aman", karena setelah waktu tersebut tubuh mulai memasuki fase persiapan tidur dan memperlambat proses metabolisme.

Late-night eating juga sering dikaitkan dengan circadian misalignment—ketidaksesuaian antara waktu makan dengan jam biologis tubuh.

2. Ritme Sirkadian dan Waktu Makan

Tubuh manusia memiliki ritme sirkadian—jam biologis internal selama 24 jam yang mengatur berbagai fungsi tubuh seperti hormon, suhu tubuh, siklus tidur-bangun, dan metabolisme. Ritme ini sangat dipengaruhi oleh cahaya dan waktu makan.

Secara biologis, tubuh dirancang untuk menerima makanan pada siang hingga sore hari. Ketika kita makan pada malam hari (terutama lewat pukul 8 atau 9 malam), kita memberi beban metabolik pada tubuh saat organ-organ utama seperti pankreas (yang memproduksi insulin) sudah mulai "beristirahat".

Penelitian dari jurnal Cell Metabolism menyebutkan bahwa makan larut malam menyebabkan penurunan respons insulin, peningkatan gula darah postprandial (setelah makan), dan peningkatan penyimpanan lemak.

3. Konsep Chrononutrition: Ilmu Gizi Berbasis Waktu

Chrononutrition adalah cabang baru dari ilmu gizi yang meneliti hubungan antara waktu makan dan ritme sirkadian. Dalam pendekatan ini, bukan hanya apa yang kita makan yang penting, tetapi juga kapan kita makan.

Penelitian di Eropa menunjukkan bahwa individu yang makan besar setelah pukul 20.00 memiliki:

  • Risiko obesitas 20-25% lebih tinggi

  • Gangguan tidur dan kualitas tidur menurun

  • Peningkatan risiko diabetes tipe 2

  • Peningkatan kadar kortisol (hormon stres).

4.apa dampakmya jika makan maam terlalu telat

a.Gangguan Pencernaan

Makan malam terlalu larut, apalagi jika langsung tidur setelah makan, bisa memicu gangguan lambung seperti refluks asam lambung (GERD) dan perut kembung. Ini karena saat tidur, posisi tubuh horizontal memperlambat pengosongan lambung.

b. Penumpukan Lemak

Tubuh lebih cenderung menyimpan kalori dari malam hari sebagai lemak. Hal ini berkaitan dengan menurunnya thermic effect of food (energi yang digunakan tubuh untuk mencerna makanan) saat malam hari.

c. Resistensi Insulin

Makan malam lewat dari jam 8 malam secara rutin meningkatkan risiko resistensi insulin, yaitu kondisi di mana sel tubuh tidak merespons insulin dengan baik. Ini adalah salah satu penyebab utama diabetes tipe 2.

d. Kualitas Tidur Menurun

Tubuh yang sedang mencerna makanan besar akan mengalami peningkatan suhu inti tubuh dan aktivitas pencernaan, yang bisa mengganggu fase tidur nyenyak (deep sleep).

5. Studi Kasus dan Penelitian Ilmiah

Beberapa studi penting yang mendukung bahaya makan malam lewat dari jam 8 antara lain:

  • Harvard Medical School (2016):
    Menemukan bahwa makan besar setelah jam 8 malam meningkatkan risiko obesitas, terutama di kalangan wanita.

  • International Journal of Obesity (2018):
    Studi terhadap 420 orang menemukan bahwa mereka yang makan malam sebelum pukul 20.00 memiliki tingkat pembakaran kalori yang lebih tinggi dibanding yang makan lewat dari waktu tersebut.

  • The American Journal of Clinical Nutrition (2020):
    Menunjukkan bahwa makan malam lewat jam 9 malam berhubungan dengan peningkatan kadar lemak darah dan gangguan metabolisme.


6. Apakah Semua Orang Terpengaruh Sama?

Tidak. Jam biologis setiap individu berbeda. Ada yang disebut "chronotype", yaitu tipe waktu alami seseorang. Beberapa orang adalah morning type (lebih aktif pagi hari), sementara lainnya adalah evening type (lebih aktif malam hari).

Namun, secara umum, evening chronotype yang makan larut malam tetap lebih rentan mengalami gangguan metabolisme dibandingkan mereka yang makan lebih awal.

7. Tips Sehat Jika Terpaksa Makan Lewat Jam 8

Jika kamu terpaksa makan malam larut karena pekerjaan atau kebiasaan, berikut beberapa saran yang bisa membantu mengurangi dampak negatifnya:

  • Pilih makanan ringan dan mudah dicerna, seperti sup sayur, oatmeal, atau ikan kukus.

  • Hindari makanan berlemak, pedas, dan tinggi gula.

  • Beri jeda setidaknya 2 jam sebelum tidur.

  • Perbanyak air putih dan hindari minuman manis.

  • Jaga porsi kecil dan hindari makan sambil menonton TV atau bekerja.

lmu pengetahuan modern menyebutkan bahwa waktu makan sama pentingnya dengan kualitas makanan itu sendiri. Makan malam lewat pukul 8 secara rutin dapat mengganggu ritme sirkadian, memperburuk metabolisme, dan meningkatkan risiko penyakit kronis. Konsep chrononutrition dan late-night eating kini menjadi perhatian utama para ahli gizi dan dokter, terutama di era modern yang serba cepat. Menjadikan makan malam sebagai aktivitas ringan dan tepat waktu bukan hanya soal disiplin, tetapi juga soal menjaga tubuh tetap seimbang dan sehat secara jangka panjang.

Kamis, 03 Juli 2025

Netralitas Indonesia: Antara Prinsip dan Kepentingan


Antara Bebas Aktif dan Realitas Global 

Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Indonesia telah berupaya keras menjaga posisinya sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dunia. Salah satu manifestasi utama dari tekad ini adalah prinsip politik luar negeri bebas aktif. Dalam konsepsi ini, Indonesia menolak untuk masuk ke dalam kubu atau aliansi kekuatan dunia mana pun, tetapi tetap aktif mengambil peran dalam menciptakan tatanan dunia yang damai dan adil.

Namun, dalam perjalanannya, prinsip ini tidak berjalan tanpa tantangan. Dalam dunia global yang kian kompleks—dengan berbagai konflik, krisis ekonomi, rivalitas geopolitik, hingga tekanan dari negara-negara besar—posisi netral Indonesia kerap diuji. Pertanyaannya kini: apakah netralitas Indonesia masih murni berdiri di atas prinsip, ataukah telah mulai digeser oleh kalkulasi kepentingan nasional, terutama ekonomi dan politik praktis?

Bebas Aktif Sebagai Jalan Tengah

Konsep bebas aktif pertama kali disampaikan oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya yang terkenal pada 2 September 1948, berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang". Dalam pidato itu, Hatta menekankan bahwa Indonesia tidak akan berpihak kepada blok manapun dalam Perang Dingin (yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet), melainkan akan mengambil jalur independen, sembari tetap aktif berperan dalam menciptakan perdamaian dunia.

Prinsip ini menjadi dasar berbagai kebijakan luar negeri Indonesia, termasuk penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, serta partisipasi dalam mendirikan Gerakan Non-Blok pada tahun 1961. Indonesia kala itu tampil sebagai suara dari negara-negara dunia ketiga yang tidak ingin menjadi pion dalam permainan geopolitik negara-negara besar.

Transformasi Dunia dan Tantangan Baru

Memasuki abad ke-21, tantangan terhadap netralitas Indonesia semakin kompleks. Jika dahulu tekanan datang dari dua blok ideologis besar (kapitalis vs komunis), kini tekanan datang dari berbagai arah: ekonomi global, diplomasi multilateral, konflik bersenjata regional, hingga perang dagang dan teknologi.

Berikut beberapa isu besar yang menunjukkan bagaimana prinsip netralitas Indonesia diuji:

1. Konflik Rusia–Ukraina

Saat invasi Rusia ke Ukraina dimulai pada 2022, banyak negara Barat menuntut dukungan dari negara-negara berkembang untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Indonesia memilih untuk tidak ikut menjatuhkan sanksi, dengan alasan bahwa langkah tersebut bertentangan dengan prinsip bebas aktif. Di sisi lain, Indonesia tetap menyerukan penghormatan terhadap kedaulatan Ukraina di berbagai forum internasional.

Namun, sikap ini dikritik oleh sebagian pihak sebagai bentuk "ambiguitas moral" karena tidak menyebut Rusia sebagai agresor secara eksplisit. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia menjaga netralitas karena prinsip, atau karena ketergantungan pada perdagangan dan energi dengan Rusia ?

2. Ketegangan di Laut Cina Selatan

Wilayah Laut Cina Selatan menjadi titik panas geopolitik, terutama karena klaim sepihak Republik Rakyat Tiongkok yang memasukkan sebagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia ke dalam "sembilan garis putus" mereka. Meskipun Indonesia secara konsisten menolak klaim tersebut, hubungan ekonomi dengan Tiongkok tetap dijaga erat.

Indonesia harus bermain hati-hati: menegaskan kedaulatan di Natuna, namun tidak sampai merusak hubungan dagang dan investasi yang begitu penting, terutama di sektor infrastruktur melalui program Belt and Road Initiative.

3. Isu Palestina dan Israel

Dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina merupakan salah satu contoh konsistensi moral yang terus dipertahankan. Indonesia hingga saat ini tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, meskipun ada tekanan dari beberapa negara sahabat untuk melakukannya demi alasan strategis dan ekonomi.

Namun demikian, di saat negara-negara Arab mulai membuka hubungan dengan Israel lewat Abraham Accords, Indonesia tetap bertahan di posisinya, menegaskan bahwa pengakuan terhadap Palestina merdeka adalah syarat mutlak.

Kepentingan Nasional: Ekonomi sebagai Pertimbangan Kunci

Dalam era globalisasi, pertimbangan ekonomi menjadi semakin dominan dalam kebijakan luar negeri. Indonesia menyadari bahwa menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan besar dunia merupakan hal esensial untuk stabilitas ekonomi domestik.

Misalnya:

  • Tiongkok adalah mitra dagang terbesar dan investor utama dalam proyek infrastruktur strategis.

  • Amerika Serikat tetap penting sebagai mitra keamanan dan teknologi.

  • Rusia masih relevan dalam sektor pertahanan dan energi.

Dalam konteks ini, netralitas menjadi sarana mengelola relasi global secara fleksibel, bukan semata-mata berdiri di atas idealisme moral. Ini adalah bentuk diplomasi yang realistis: menjaga kepentingan nasional tanpa harus sepenuhnya tunduk pada kekuatan luar.

Kritik dan Tantangan dari Dalam Negeri

Di dalam negeri, sikap netral Indonesia tidak selalu diterima secara bulat. Masyarakat sipil, LSM, akademisi, dan media sering kali mendorong pemerintah untuk bersikap lebih tegas dalam menanggapi isu-isu global, terutama yang menyangkut pelanggaran HAM dan kedaulatan negara lain.

Kritik terhadap "netralitas setengah hati" muncul, misalnya dalam kasus Rohingya di Myanmar, konflik kemanusiaan di Gaza, atau bahkan isu pelanggaran demokrasi di negara-negara mitra dagang Indonesia. Pemerintah dinilai terlalu berhati-hati, bahkan terkesan "diam", dalam menghadapi isu-isu tersebut.

Menuju Netralitas Strategis dan Bermartabat

Netralitas Indonesia tidak seharusnya dimaknai sebagai abstain atau menghindar dari konflik internasional. Sebaliknya, Indonesia perlu mengembangkan konsep netralitas strategis, yakni:

  1. Bersikap tegas terhadap pelanggaran hukum internasional, dengan tetap menjaga komunikasi dengan semua pihak.

  2. Memperkuat peran sebagai mediator dan juru damai, sebagaimana pernah dilakukan dalam konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Timor Leste.

  3. Membangun ketahanan nasional, agar tidak mudah ditekan oleh kekuatan global.

  4. Memprioritaskan diplomasi multilateral dan regional, terutama melalui ASEAN, OKI, dan PBB.

Dengan pendekatan ini, netralitas bukan menjadi bentuk pasivitas, melainkan kekuatan moral dan politik yang aktif serta bermartabat.

Prinsip atau Kepentingan?

Netralitas Indonesia akan terus diuji dalam dunia yang semakin kompleks dan kompetitif. Di satu sisi, prinsip moral dan idealisme kebangsaan harus terus dijaga. Di sisi lain, realitas geopolitik dan tuntutan pembangunan ekonomi tidak bisa diabaikan.

Yang perlu dipastikan adalah bahwa kepentingan nasional tidak boleh menggerus nilai dan karakter Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai, adil, dan merdeka dalam bersikap. Selama prinsip bebas aktif tetap dikawal dengan kesadaran strategis, Indonesia bisa menjadi aktor penting yang menjembatani dunia yang terbelah.

Netralitas bukan hanya soal tidak memihak—tetapi soal bagaimana berpihak pada perdamaian, keadilan, dan kepentingan nasional secara seimbang.

Rabu, 02 Juli 2025

Scroll, Klik, Lelah: Generasi Burnout Digital



Di balik layar yang selalu menyala, ada generasi yang lelah secara diam-diam.

Kita hidup di zaman ketika semua hal bisa diakses dalam sekali klik. Teknologi menawarkan kemudahan, hiburan, dan koneksi tanpa batas. Tapi bersamaan dengan itu, muncul generasi yang kelelahan—bukan karena kekurangan, tetapi karena terlalu banyak terhubung.

Dunia Tanpa Jeda

Dulu, ada batas yang jelas antara dunia kerja, rumah, dan waktu istirahat. Sekarang, semua itu menyatu di satu layar. Email masuk di akhir pekan. Notifikasi kerja datang saat makan malam. Konten terus-menerus mengalir, membuat otak kita terus bekerja meski tubuh diam.

Kita scroll sebelum tidur, klik saat bangun, dan berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain tanpa sadar sudah menghabiskan waktu berjam-jam.

Kelelahan yang Tak Terlihat

Burnout digital bukan sekadar kelelahan fisik. Ia merusak fokus, mengganggu tidur, menurunkan motivasi, bahkan memperburuk kondisi mental. Ironisnya, ketika stres, kita malah lari ke layar—mencari pelarian yang justru menambah beban.

Fenomena ini sangat nyata di kalangan milenial dan Gen Z. Mereka yang tumbuh bersama media sosial sering merasa tertinggal, tidak cukup produktif, atau tidak cukup “hebat” dibandingkan orang lain yang ditampilkan di layar.

Produktif atau Terjebak Sibuk?

Banyak yang merasa harus selalu ‘on’, selalu update, dan selalu membalas pesan secepat mungkin. Tapi itu bukan produktivitas—itu jebakan. Tanpa batasan digital, ruang untuk diri sendiri makin sempit. Kita jarang benar-benar hadir, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Penyebab Burnout Digital :

1.Overload informasi : Setiap hari kita di bombardir dengan berita, media sosial, dan konten digital lainnya. proses menyaring informasi ini dapat menjadi sangat melelahkan.

2.Tekanan sosial: Media sosial menciptakan ekspetasi untuk selalu terhubung dan aktif.banyak orang yang merasaperlu untuk memperbaharui status mereka,membalas pesan, dan berinteraski dengan konten, yang dapat menyebabkan stress.

3.Kurangnya batasan: Dengan pekerjaan dan kehidupan pribadi yang sering kali bercampur ,sulit untuk menetapkan batasan yang sehat,banyak orang merasa harus selalu tersedia, baik untuk pekerjaan maupun untuk interaksi sosial.

Dampak burnout digital :

Burnout digital dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental dan fisik. beberapa gejala yang  umum berati :


  • Kelelahan fisik dan mental.
  • Kesulitan dan berkonsentrasi.
  • Kecemasan dan depresi.
  • Penurunan produktivitas
  • Solusi untuk mengatasi burnout digital

    1.Tetapkan batasan waktu : Mengatur waktu untuk penggunaan perangkat digital dapat membantu mengurangi kelelahan.cobalah untuk menetapkan waktu tertentu untuk berselancar di media sosial atau memeriksa email.

    2.Ambil istirahat Luangkan waktu untuk beristirahat dari layar. Aktivitas fisik, meditasi, atau sekadar berjalan-jalan dapat membantu menyegarkan pikiran.

    3. Prioritaskan Kualitas daripada Kuantitas: Fokus pada interaksi yang bermakna dan konten yang berkualitas. Mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan untuk scrolling dapat meningkatkan pengalaman digital secara keseluruhan.

    4. Ciptakan Ruang Tanpa Teknologi: Tentukan area di rumah atau waktu tertentu dalam sehari di mana tidak ada perangkat digital yang diizinkan. Ini dapat membantu menciptakan keseimbangan yang lebih baik.

    Scroll, Klik, Lelah: Generasi Burnout Digital" adalah panggilan untuk menyadari dampak dari penggunaan teknologi yang berlebihan. Dengan memahami penyebab dan dampak burnout digital, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk menciptakan keseimbangan yang lebih sehat dalam kehidupan kita. Mengurangi ketergantungan pada perangkat digital dan meningkatkan kualitas interaksi dapat membantu kita menghindari kelelahan dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan

    Selasa, 01 Juli 2025

    Dampak Putusan MK Memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah




     KOMISI Bidang Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat belum membahas putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilihan umum nasional dan daerah. Padahal putusan itu mengembalikan pelaksanaan pemilu di negeri ini ke titik nol karena dampaknya berpengaruh terhadap regulasi dan anggaran.

    Wakil Ketua Komisi Bidang Pemerintahan DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan, meski pembahasan itu merupakan mandat konstitusi, komisinya belum memastikan jadwal pembahasan untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut bersama pemerintah.

    Menurut Dede, MK tetap memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang mempelajari dan mengkaji lebih dalam sebelum dilakukan pembahasan. Selain itu, hingga kemarin pimpinan DPR ataupun Badan Musyawarah belum memutuskan tindak lanjut putusan tersebut kepada Komisi Bidang Pemerintahan. “Kami tidak terburu-buru karena saat ini masih berfokus pada pembangunan yang tengah dilaksanakan pemerintah,” katanya saat dihubungi, Ahad, 29 Juni 2025.

    Putusan MK itu tidak hanya berdampak pada UU Pemilu. Setidaknya ada tiga undang-undang yang harus diubah untuk mengikutinya, yakni Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, Undang-Undang Partai Politik, dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Karena itu, kata Dede, perlu diskusi dan pengkajian mendalam sebelum ditindaklanjuti.

    Mengenai masuknya revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2025-2029, Dede menjelaskan, revisi Undang-Undang Pemilu masuk agenda pembahasan Prolegnas pada tahun berikutnya atau 2026. “Perlu diketahui juga bahwa tidak semua pembahasan undang-undang dapat diselesaikan dengan cepat. Karena ada efisiensi, kami hanya memiliki jatah mungkin membahas satu undang-undang per tahun. Makanya kami tidak terburu-buru,” ujar politikus Partai Demokrat ini.

    Hakim konstitusi mengabulkan gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada perkara nomor 135/PUU-XXII/2024.

    Dalam petitumnya, Perludem meminta MK mencabut frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” yang termaktub dalam Pasal 167 ayat 3 Undang-Undang Pemilu lantaran dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan begitu, konsep pemilu lima kotak tidak berlaku lagi untuk Pemilu 2029 karena MK memisahkan penyelenggaraannya pada waktu yang berbeda.

    Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Saldi Isra menjelaskan tahapan pemilihan yang berdekatan menyebabkan masyarakat punya waktu sempit menilai kinerja pemerintahan, baik dari unsur eksekutif maupun calon anggota legislatif. Tahapan pemilu nasional atau daerah dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pilkada, menurut Saldi, berimplikasi pada stabilitas partai politik.

    Implikasi ini, kata dia, membuat partai kehilangan kemampuan menyiapkan kader kompeten. Tahapan pemilu yang berdekatan juga menyebabkan isu daerah tenggelam oleh isu nasional. “Di tengah isu dan masalah pembangunan, yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat harus tetap jadi yang utama,” kata Saldi saat membacakan pertimbangan putusan pada Kamis, 26 Juni 2025.

    Hakim konstitusi Arief Hidayat menambahkan pemilu serentak yang diselenggarakan dengan skenario lima kotak juga menyebabkan partai mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi. Partai juga tidak punya waktu cukup merekrut calon anggota legislatif di tiga level sekaligus, apalagi bagi partai yang juga harus mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan presiden. “Itu menyebabkan perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilu membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional,” ucapnya.

    Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Mulyanto mengatakan putusan MK itu meringankan beban partai untuk berkontestasi. Menurut dia, dengan adanya pemisahan, partai dapat lebih berfokus membekali calon dengan penuh kesiapan, baik di tingkat nasional maupun daerah. “Untuk pemilih dan penyelenggara, dampak positifnya juga bisa dirasakan,” tuturnya saat dihubungi, Ahad, 29 Juni 2025.

    Dampak positif itu ialah masyarakat dapat lebih berfokus memilih calon pada pemilu mendatang. Mulyanto menuturkan masyarakat yang sebelumnya mengalami kejenuhan lantaran pemilu diselenggarakan serentak nantinya memiliki kesempatan lebih untuk mengenali dan menghindari kejenuhan akibat kontestasi politik yang berdekatan. “Di sisi penyelenggara, ini juga bisa meringankan beban kerja dan sebagai bentuk evaluasi terhadap minimnya tingkat partisipasi,” ujarnya.

    Mengenai konsekuensi putusan yang berdampak pada kekosongan jabatan di tingkat daerah, Mulyanto hakulyakin para legislator di DPR dan pemerintah dapat segera merumuskan opsi alternatif yang paling relevan. Entah memperpanjang masa jabatan atau mengganti kepala daerah dengan menunjuk pejabat sementara, menurut dia, keputusan akan diambil berdasarkan pengkajian matang. “Saya percaya kompetensi kawan-kawan di DPR,” katanya.

    Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Sarmuji mengatakan partainya menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Kendati begitu, ia tak bisa memastikan kapan DPR dan pemerintah akan membahas revisi Undang-Undang Pemilu untuk mengakomodasi putusan ini. “Pada prinsipnya, legislator Partai Golkar di DPR akan mempelajari dan mengkaji lebih dulu untung-rugi dampak putusan ini,” ucap Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR ini.

    Mengenai perpanjangan masa jabatan anggota DPRD imbas putusan MK, Sarmuji menyatakan partainya belum dapat menentukan sikap resmi, terutama terhadap anggota DPRD terpilih yang bertugas saat ini. “Kalau diperpanjang, apakah akan dilakukan pergantian antarwaktu atau tidak. Kami belum bisa memutuskan karena pembahasannya belum dilakukan,” tuturnya.Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengapresiasi pemisahan penyelenggaraan pemilu yang diputuskan MK. Namun ia menilai MK terlalu berperan sebagai pembentuk undang-undang.

    Menurut dia, pemisahan ini adalah bentuk evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu serentak yang menimbulkan kompleksitas di sisi penyelenggara, serta kerumitan dan kejenuhan di sisi pemilih yang harus mengikuti pemilu dalam setahun penuh.

    Meski begitu, kata Doli, DPR belum menerima instruksi dari pimpinan untuk segera membahas revisi Undang-Undang Pemilu dan undang-undang lain yang berkaitan dengan putusan ini. “Menurut saya, satu tahun sudah cukup bagi kami berdiskusi dengan semua stakeholder dalam pembahasan ini,” ujar anggota Komisi Bidang Pemerintahan DPR itu.

    Menurut Doli, penyelenggaraan pemilu akan lebih ideal apabila pemilu eksekutif dan legislatif juga dipisah. Dia mengatakan pengalaman penyelenggaraan pemilu pada 2004 dan 2009 dapat menjadi rujukan untuk mengimplementasikannya. “Kembali lagi ke soal waktu, sampai saat ini belum ada instruksi untuk melakukan pembahasan dari pimpinan,” ucapnya.

    Dosen hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu sebagai tindak lanjut atas putusan MK harus segera dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Soalnya, efektivitas penyelenggaraan pemilu amat bergantung pada kesiapan penyelenggara serta diseminasi informasi kepada kontestan dan pemilih. Lambatnya pembahasan juga akan berdampak timbulnya kebingungan dalam penyelenggaraan pemilu mendatang.

    Menurut dia, dasar hukum dalam mengakomodasi putusan MK adalah Undang-Undang Pemilu. Karena itu, dia menekankan, DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang harus menegaskan dan menguatkan dasar hukum tersebut, baik dari segi operasional maupun teknis, terutama dalam urusan perpanjangan masa jabatan pada fase transisi. “Soal skenario akan dilakukan seperti apa, DPR dan pemerintah harus menata dan memastikan dasar hukum konkretnya dengan segera membahas revisi Undang-Undang Pemilu,” tuturnya.

    Direktur Eksekutif Netgrit—organisasi pegiat isu kepemiluan—Hadar Nafis Gumay menyatakan pemisahan penyelenggaraan pemilu merupakan angin segar dalam upaya penataan pemilu agar lebih berkualitas. Ia menyebutkan, dengan adanya jeda dari pemilu serentak nasional ke daerah, pemilih dapat memiliki ruang lebih untuk berfokus dan memahami visi-misi para calon yang akan dipilih tanpa harus terdistraksi oleh isu nasional.

    Masalahnya, kata Hadar, DPR belum memberikan sinyal untuk segera membahas revisi Undang-Undang Pemilu dalam waktu dekat. Sejauh ini, menurut dia, DPR masih berdalih sedang mempelajari atau mengkaji dampak putusan itu. Padahal sebelumnya DPR menempatkan revisi Undang-Undang Pemilu dalam Prolegnas 2025-2029. “Seharusnya bisa langsung dieksekusi, mengingat adanya dorongan konstitusional,”

    Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan Komisi II masih melakukan pengkajian internal secara mandiri untuk menentukan induk yang mendasari revisi, apakah Undang-Undang Pemilu atau undang-undang lain. “Tapi saya rasa semua partai memiliki concern yang penting dalam putusan dan isu ini sehingga harus duduk bersama lebih dulu,” ucapnya. “Putusan ini kan tidak hanya berimplikasi dengan Undang-Undang Pemilu, tapi juga undang-undang lain.”

    Ihwal mekanisme pembahasan yang akan dilakukan nantinya, Dede mengungkapkan, sebelumnya DPR memang merencanakan revisi Undang-Undang Pemilu dilakukan dengan mekanisme kodifikasi. Namun, karena putusan MK ini juga berdampak pada undang-undang lain, DPR akan berupaya mengkaji dan memformulasikan dengan ideal sebelum membahas dan mengakomodasi putusan ini. “Pada prinsipnya, kami tidak ingin terburu-buru,” tuturnya.

    Dihubungi terpisah, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan instansinya masih mempelajari lebih detail putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia menuturkan hingga kemarin Kementerian Dalam Negeri belum memperoleh undangan rapat dari DPR untuk menindaklanjuti putusan ini. “Tapi pada prinsipnya kami siap membahas ini bersama-sama,” katanya. 

    Senin, 30 Juni 2025

    Di Balik Diplomasi: Mengapa Gencatan Senjata Tak Pernah Bertahan Lama?





    Dalam setiap konflik bersenjata, seruan gencatan senjata sering kali terdengar seperti napas segar di tengah asap mesiu. Namun, harapan akan kedamaian yang menyertainya sering hanya bertahan sebentar. Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak gencatan senjata runtuh dalam hitungan hari, bahkan jam. Dari Gaza hingga Ukraina, dari Suriah hingga Sudan, diplomasi damai tampaknya tak pernah mampu memadamkan api peperangan secara permanen. Lalu, mengapa gencatan senjata—yang secara teori merupakan langkah menuju perdamaian—sering kali gagal dipertahankan.

    Gencatan Senjata: Antara Janji dan Realitas

    Secara definisi, gencatan senjata adalah penghentian sementara konflik bersenjata yang disepakati oleh pihak-pihak yang bertikai. Tujuannya bisa bermacam-macam: kemanusiaan, evakuasi, perundingan, atau bahkan semata-mata tekanan internasional. Namun dalam praktiknya, gencatan senjata tidak selalu mencerminkan niat damai. Sering kali, kesepakatan ini menjadi alat taktis untuk mengulur waktu, menyusun ulang strategi militer, atau mendapatkan simpati publik dunia.

    Contoh konkret adalah berbagai gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hamas di Gaza. Hampir setiap gencatan senjata sejak awal tahun 2000-an berakhir dengan pelanggaran oleh salah satu pihak dalam waktu singkat. Situasi serupa terjadi di Ukraina, di mana perjanjian Minsk I dan II tidak pernah benar-benar menghentikan kontak senjata antara pasukan Ukraina dan separatis pro-Rusia.

    Kepentingan Politik di Balik Perdamaian Palsu

    Gencatan senjata seringkali menjadi ajang “politik senjata”. Pihak-pihak yang bertikai kerap memanfaatkan jeda ini untuk memperkuat posisi tawar mereka di medan diplomasi maupun peperangan. Dalam banyak kasus, kelompok bersenjata menggunakan waktu gencatan untuk memperbaiki logistik, mengatur ulang posisi tempur, atau mendapatkan kembali legitimasi publik. Sementara negara-negara pendukung di belakang layar (proxy states) sering memainkan peran ganda: menyerukan perdamaian di forum internasional, sembari tetap menyuplai senjata dan logistik di belakang layar.

    Perang bukan hanya soal militer. Ini juga tentang narasi. Saat satu pihak menyatakan gencatan senjata, ia dapat membingkai dirinya sebagai pihak yang cinta damai. Ketika kesepakatan gagal, pihak lain yang dianggap melanggar akan disudutkan secara moral, meskipun fakta di lapangan sangat kompleks.

    Diplomasi yang Terputus dari Realitas Akar Rumput

    Salah satu penyebab utama kegagalan gencatan senjata adalah karena proses perundingan sering hanya melibatkan elit-elit politik atau militer, tanpa partisipasi masyarakat sipil atau kelompok korban yang terdampak langsung. Akibatnya, kesepakatan damai menjadi rapuh karena tidak mencerminkan realitas sosial dan emosional di lapangan.

    Dalam banyak konflik, seperti Suriah atau Yaman, aktor-aktor bersenjata lokal tidak selalu memiliki kontrol penuh terhadap faksi-faksi di lapangan. Maka, sekalipun kesepakatan tercapai di atas kertas, implementasinya di lapangan sangat sulit. Tidak adanya struktur komando yang terpusat, lemahnya mekanisme pemantauan, serta tidak adanya sanksi jelas atas pelanggaran menjadi faktor-faktor kegagalan utama.

    Gencatan Senjata sebagai Alat Propaganda

    Bagi banyak negara atau kelompok, gencatan senjata merupakan cara efektif untuk mengelola persepsi publik internasional. Seruan untuk damai bisa digunakan untuk mendapatkan simpati, bantuan internasional, atau melegitimasi tindakan sebelumnya. Dalam konteks ini, gencatan senjata bukanlah tujuan, melainkan alat untuk membentuk narasi yang menguntungkan secara politik.

    Contohnya, dalam konflik Israel–Hamas, masing-masing pihak berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah korban dan pihak yang lebih bermoral. Gencatan senjata menjadi bagian dari upaya itu—bukan sebagai solusi permanen, tetapi sebagai jeda propaganda.

    Tidak Menyentuh Akar Masalah

    sebagian besar konflik bersenjata berakar pada persoalan struktural: ketidakadilan politik, diskriminasi etnis, pengusiran, perampasan tanah, atau kolonisasi. Jika gencatan senjata hanya menyasar permukaan konflik (yaitu hentikan tembakan), tanpa menyelesaikan akar penyebabnya, maka perang hanyalah soal waktu.

    Perjanjian damai yang sukses, seperti yang terjadi di Aceh (2005) atau di Afrika Selatan pasca-Apartheid, tidak hanya menghentikan senjata, tetapi juga merombak sistem politik, membangun keadilan transisional, dan melibatkan korban dalam proses rekonsiliasi. Gencatan senjata tanpa transformasi struktural hanya akan jadi jeda, bukan penyelesaian.

    Peran Lemah Komunitas Internasional

    PBB dan lembaga internasional lain sering berada di garis depan dalam mendorong gencatan senjata. Namun, mereka sering tak memiliki cukup kekuatan untuk menegakkan kesepakatan itu. Resolusi Dewan Keamanan bisa dengan mudah diveto oleh negara besar, sementara misi perdamaian kerap kekurangan dana, mandat, dan perlindungan hukum yang kuat.

    Akibatnya, pelanggaran gencatan senjata sering terjadi tanpa konsekuensi nyata. Tidak ada sanksi, tidak ada intervensi, tidak ada pengadilan. Hal ini mendorong aktor-aktor konflik untuk terus bermain di zona abu-abu hukum internasional.

    Gencatan Senjata Bukan Akhir, Tapi Ujian

    Gencatan senjata seharusnya menjadi langkah awal menuju perdamaian, bukan pengganti dari perdamaian itu sendiri. Untuk membuatnya bertahan, diperlukan lebih dari sekadar kesepakatan atas kertas. Diperlukan keterlibatan nyata dari semua pihak—negara, kelompok bersenjata, masyarakat sipil, dan komunitas internasional—untuk menyentuh akar masalah, menciptakan keadilan, dan membangun kepercayaan.

    Selama diplomasi masih dipakai sebagai alat taktik, bukan sebagai komitmen moral dan politik untuk perdamaian jangka panjang, maka gencatan senjata akan terus menjadi sandiwara berulang: diumumkan dengan harapan, dan runtuh dalam kekecewaan.

    Minggu, 29 Juni 2025

    Gimik Politik: Panggung Sandiwara di Era Demokrasi Digital

     



    Dalam dunia politik modern, pencitraan dan persepsi publik menjadi senjata yang tak kalah penting dibandingkan kebijakan nyata. Salah satu bentuk dari strategi pencitraan ini adalah gimik politik—tindakan atau pernyataan sensasional yang bertujuan menarik perhatian, membentuk opini publik, atau memperkuat popularitas, sering kali tanpa dasar kebijakan yang konkret di baliknya.

    Apa itu gimik politik 

    Secara sederhana, gimik politik adalah aksi atau manuver politik yang lebih menonjolkan tampilan luar ketimbang substansi. Gimik dirancang untuk viral, mudah dicerna publik, dan membentuk narasi tertentu yang menguntungkan sang aktor politik. Meskipun tidak selalu negatif, gimik seringkali dikritik karena cenderung bersifat manipulatif dan dangkal.

    Contoh gimik politik bisa bermacam-macam, mulai dari:

    • Blusukan mendadak ke pasar tradisional.

    • Pembagian bantuan sosial menjelang pemilu.

    • Pernyataan kontroversial yang memancing debat publik.

    • Drama politik di media sosial.

    • Simbolisme, seperti pakaian adat, menangis di depan kamera, atau mencium tangan rakyat kecil.

    Mengapa gimik politik popular ?

    Beberapa alasan mengapa gimik politik menjadi alat yang umum digunakan antara lain:

    1. Media Sosial dan Era Visual
      Di era digital, perhatian publik sangat pendek. Politisi harus tampil menarik di layar smartphone. Gimik yang “instagramable” atau viral di TikTok bisa jauh lebih efektif dari pada pidato panjang tentang kebijakan fiskal.

    2. Politik Elektoral
      Dalam kontestasi pemilu, persepsi adalah segalanya. Kandidat dengan citra "merakyat", "tegas", atau "relatable" punya nilai jual tinggi. Gimik digunakan untuk membentuk citra itu, bahkan bila tidak sesuai kenyataan.

    3. Pengalihan Isu
      Saat sebuah rezim terpojok karena skandal atau krisis, gimik bisa digunakan sebagai alat distraksi. Sebuah aksi kontroversial atau teatrikal bisa mengalijhkan perhatian media dan publik dari isu substansial.

    Apakah Gimik Politik Selalu Buruk?

    Tidak selalu. Ada kalanya gimik bisa menjadi pintu masuk komunikasi politik yang efektif. Misalnya, blusukan bisa menjadi cara mengenal aspirasi warga jika dilakukan konsisten dan diikuti kebijakan nyata. Namun, ketika gimik hanya menjadi panggung pencitraan tanpa substansi, maka yang terjadi adalah penipuan publik secara halus.

    Dampak Negatif Gimik Politik

    1. Dekadensi Demokrasi
      Politik menjadi ajang pertunjukan, bukan arena pertarungan ide dan solusi. Masyarakat dininabobokan oleh drama, bukan diajak berpikir kritis.

    2. Merosotnya Kepercayaan Publik
      Ketika publik mulai sadar bahwa banyak janji atau aksi hanya gimik, kepercayaan terhadap institusi politik bisa runtuh.

    3. Mengabaikan Isu Nyata
      Alih-alih membahas masalah penting seperti pendidikan, kesehatan, atau lingkungan, perhatian publik disedot oleh hal-hal sensasional tapi dangkal.

    Contoh gimik politik di indonesia 

    Blusukan Pemimpin Nasional: Awalnya efektif dan menyentuh, tapi kemudian diikuti politisi lain secara artifisial, hanya demi kamera.

    Deklarasi Dukungan Artis atau Influencer: Tidak berdasar pada program, tapi popularitas semata.

    Kampanye di TikTok atau YouTube dengan gaya berlebihan, tanpa narasi kebijakan yang jelas.

    Gimik politik adalah bagian tak terelakkan dari panggung demokrasi modern. Di satu sisi, ia bisa menjadi sarana komunikasi yang membumi dan efektif. Di sisi lain, bila tidak diiringi dengan integritas dan kebijakan nyata, ia justru mengaburkan realitas politik dan menyesatkan publik. Masyarakat perlu lebih kritis dan cerdas dalam menyaring mana aksi nyata, dan mana sekadar "gimik murahan".

    Sabtu, 28 Juni 2025

    Kenapa Kejaksaan agung tahan Nadiem makarim ke luar Negeri


    Nadiem makarim

    Kejaksaan Agung mencekal eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim untuk berpergian ke luar negeri hingga 6 bulan ke depan. pencekalan tersebut berlaku sejak 19 Juni 2025 hingga enam bulan ke depan. 

    Awal pekan ini Harli menyebut Nadiem kemungkinan akan diperiksa lebih lanjut, lantaran masih ada yang harus diselidiki kepada Nadiem selaku Menteri yang menjabat saat itu.Selain itu, panggilan lanjutan kepada Nadiem masih diperlukan lantaran terdapat data-data permintaan penyidik yang masih belum dilengkapi.

    "Kalau melihat dari beberapa pertanyaan-pertanyaan itu, masih perlu lagi digali ada pertanyaan-pertanyaan lain. Karena menyangkut masalah pengadaan ini tidak sederhana, karena anggarannya cukup signifikan," ujarnya kepada wartawan, Selasa (24/6).

    "Tentu kepada yang bersangkutan juga masih ada data-data yang masih belum dilengkapi. Barangkali penyidik melihat ini tentu bisa saja akan menjadwal pemeriksaan lanjutan," imbuhnya.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan Nadiem Makarim dicegah ke luar negeri demi memperlancar proses penyidikan terkait kasus dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek pada 2019-2022.

    "Iya (dicegah ke luar negeri). Sejak 19 Juni 2025 untuk enam bulan ke depan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar.

    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Nadiem telah diperiksa Kejagung pada Senin (23/6/2025). Nadiem memenuhi panggilan penyidik untuk diminta keterangannya terkait dengan pengadaan laptop Chromebook 2020-2022, senilai Rp9,9 triliun.

    Dalam pernyataan setelah kelar diperiksa, Nadiem mengatakan akan terus bersikap kooperatif untuk membantu menjernihkan persoalan ini, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap transformasi pendidikan yang telah dibangun bersama.

    "Saya hadir hari ini di Kejaksaan Agung sebagai warga negara yang percaya bahwa penegakan hukum yang adil dan transparan adalah pilar penting bagi demokrasi dan pemerintahan yang bersih," kata Nadiem, Senin (23/6/2025) malam.

    "Dalam kapasitas saya sebagai saksi, saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya pada segenap jajaran aparat dari Kejaksaan yang telah menjalankan proses hukum ini dengan baik, mengedepankan azas keadilan, transparansi, dan juga azas praduga tak bersalah," ia menambahkan.Nadiem tak banyak berbicara soal detail pemeriksaan yang memakan waktu hingga 12 jam.

    "Terima kasih dan izinkan saya pulang karena keluarga saya telah menunggu," ujarnya mengakhiri keterangan singkat tersebut.

    Sebelumnya, Nadiem mengatakan bahwa program pengadaan laptop Chromebook digunakan oleh mayoritas sekolah penerima dan berdampak nyata pada proses pembelajaran.Nadiem menjelaskan, pengadaan laptop tersebut merupakan bagian dari strategi mitigasi terhadap ancaman learning loss saat pandemi Covid-19.

    Program ini, katanya, mencakup pengadaan laptop, modem, dan proyektor untuk mendukung pembelajaran jarak jauh serta peningkatan kompetensi guru dan asesmen berbasis komputer (ANBK).Program digitalisasi itu dijalankan sepanjang 2019 hingga 2022 dengan anggaran total mencapai Rp9,9 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp3,58 triliun bersumber dari dana satuan pendidikan dan Rp6,39 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK).

    Dalam pembelaannya, kuasa hukum Nadiem, Hotman Paris, menegaskan seluruh proses pengadaan dilakukan melalui e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dengan harga pembelian yang bahkan lebih murah dari harga katalog."Laptop yang dibeli sekitar Rp5 jutaan, padahal harga di e-katalog saat itu sekitar Rp6-7 juta. Jadi tidak ada markup," ujar Hotman.

    Namun, Kejaksaan Agung mengungkap temuan berbeda. Penyidik menemukan dugaan adanya pemufakatan jahat dalam pengadaan alat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tersebut.Kajian teknis disebut-sebut diarahkan untuk merekomendasikan penggunaan Chromebook, meski hasil uji coba 1.000 unit pada 2019 menunjukkan perangkat tersebut tidak efektif sebagai sarana pembelajaran.

    Penyidikan juga menyasar aset milik orang-orang dekat Nadiem. Tiga apartemen yang diduga milik staf khusus Nadiem (Fiona Handayani, Juris Stan, dan Ibrahim) telah digeledah.



    Kamis, 26 Juni 2025

    Sri Mulyani akan Wajibkan Pajak 0,5% Pedagang Shopee, Lazada, Tokopedia Cs



    Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana memajaki pelapak atau penjual di platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, dan tiktok shop.

    Aturan ini menargetkan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini berjualan secara online. Rencana itu akan mereka tuangkan dalam peraturan baru. Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah memperluas basis pajak dan menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha online dan offline.

    Besaran pajak yang akan dikenakan diketahui sekitar 0,5 persen dari pendapatan penjualan dari penjual dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Langkah Sri Mulyani untuk memajaki pedagang di Shopee, Tokopedia, dan e-commerce lain adalah bagian dari reformasi pajak era digital.

    Aturan pajak baru itu akan diterbitkan secepatnya pada bulan depan. Dalam skema baru ini, platform e-commerce akan bertindak sebagai pemotong dan penyetor pajak langsung ke negara, layaknya pihak pemungut pajak.

    Tujuan Kebijakan :

    Kementerian Keuangan menyebutkan beberapa alasan utama diberlakukannya kebijakan ini:

    Meningkatkan kepatuhan pajak di sektor ekonomi digital yang selama ini masih sulit diawasi.

    Menciptakan keadilan antara penjual offline yang sudah rutin membayar pajak dan penjual online.

    Menambah penerimaan negara, terutama di tengah tren menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak pada kuartal pertama 2025.