Dalam panggung politik internasional yang kian memanas—dari perang di Ukraina, konflik Israel-Iran, hingga rivalitas Tiongkok-Amerika Serikat—Indonesia berdiri di tengah pusaran, membawa bendera netralitas yang sudah lama dipegang sejak era Konferensi Asia-Afrika. Tapi di balik prinsip "bebas aktif" yang diagung-agungkan, muncul pertanyaan besar: benarkah Indonesia bebas? Atau justru netralitas itu menyandera pilihan dan arah kebijakan luar negeri kita?
Prinsip Lama dalam Dunia Baru
Prinsip netralitas Indonesia bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Sejak Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, Indonesia sudah menegaskan posisinya: tidak memihak blok Barat atau Timur. Presiden Soekarno waktu itu ingin membangun solidaritas negara-negara baru di Asia dan Afrika, yang tidak ingin jadi pion dalam Perang Dingin.
Namun, zaman berubah. Ketika dunia saat ini tidak lagi hanya dibelah oleh ideologi, melainkan juga oleh kekuatan ekonomi dan militer, netralitas menjadi lebih rumit dan penuh risiko. Tidak lagi cukup untuk hanya ‘berdiri di tengah’—karena pihak-pihak yang bertikai menuntut kejelasan sikap..
Contohnya:
Kasus Rusia-Ukraina: Diam yang Menggema
Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, banyak negara dunia mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan kedaulatan negara. Indonesia, meski menyuarakan keprihatinan dan menyerukan perdamaian, menolak mengecam Rusia secara langsung.
Hal ini menimbulkan reaksi beragam. Di dalam negeri, sebagian publik mendukung langkah pemerintah sebagai bagian dari “diplomasi damai.” Tapi di dunia internasional, khususnya Barat, sikap ini dianggap ambigu.
Fakta bahwa Indonesia tetap mengundang Rusia dalam forum-forum internasional seperti G20 menambah kesan bahwa Indonesia lebih mementingkan stabilitas dan hubungan ekonomi ketimbang prinsip moral internasional. Sekali lagi, netralitas Indonesia diuji: Apakah ini strategi bijak atau ketidaktegasan?
Konflik Timur Tengah: Antara Sentimen Publik dan Diplomasi Strategis
Isu Palestina selalu menjadi titik sensitif bagi politik luar negeri Indonesia. Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina menjadi bagian dari DNA diplomatik Indonesia. Namun ketika konflik Israel-Iran memanas, Indonesia menghadapi dilema baru.
Di satu sisi, opini publik sangat mendukung Palestina dan mengecam Israel. Tapi di sisi lain, Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara Arab Teluk, yang kini mulai menormalisasi hubungan dengan Israel. Di tengah tekanan itu, Indonesia tetap mengutuk tindakan kekerasan namun tidak serta merta mengambil sikap ekstrem seperti pemutusan hubungan diplomatik dengan negara tertentu.
Pertanyaannya: apakah ini bentuk diplomasi seimbang atau ketakutan kehilangan kepentingan ekonomi dan politik?
Kepentingan Ekonomi vs Prinsip Moral
Indonesia kini bukan sekadar negara berkembang yang “bebas bersuara.” Kita sudah terhubung dalam jaringan ekonomi global—dari investasi Tiongkok di infrastruktur hingga kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat. Netralitas menjadi medan yang licin: di satu sisi menjaga kestabilan dalam negeri, di sisi lain harus bermanuver agar tak kehilangan mitra dagang utama.
Konflik Timur Tengah juga jadi ujian. Ketika sentimen publik mendorong dukungan terhadap Palestina, pemerintah harus berhati-hati agar tidak merusak hubungan dengan negara-negara Teluk dan mitra strategis lain.
Tekanan Domestik dan Internasional
Netralitas Indonesia juga diganggu oleh tekanan dalam negeri: opini publik yang vokal, politik identitas, dan keinginan elit politik untuk tampil “berwibawa” di kancah global. Tapi dunia luar tak selalu melihat niat baik. Banyak negara Barat kini menilai netralitas sebagai ketidakjelasan posisi. Padahal, Indonesia mengklaim peran sebagai juru damai atau fasilitator.
Yang lebih rumit, Indonesia sering terjebak dalam diplomasi simbolik: kunjungan, pidato, atau mediasi yang tak membuahkan hasil konkret. Netralitas jadi semacam pertunjukan, bukan strategi nyata.
Netral, Tapi ke Mana Arah Kita?
Menjadi netral bukan berarti tak memilih sisi. Ini tentang bagaimana Indonesia bisa tetap berdaulat dalam keputusan, namun tetap responsif terhadap dinamika global. Tantangannya adalah:
-
Bagaimana bersikap tegas tanpa kehilangan hubungan strategis?
-
Bagaimana menjaga prinsip tanpa terisolasi secara ekonomi?
-
Bagaimana memainkan peran global tanpa jadi pion dalam permainan besar?
Netral Bukan Berarti Tidak Bertindak
Di dunia yang makin kompleks dan terpecah, sikap netral bukan berarti diam atau pasif. Netralitas adalah seni berjalan di atas tali diperlukan keseimbangan, kecermatan, dan keberanian.
Indonesia punya peluang untuk menjadi suara yang independen dan dihormati, tapi itu hanya bisa terjadi jika netralitas dibarengi dengan kejelasan arah, integritas moral, dan keberanian diplomatik. Di era krisis global, netral tapi tak bebas hanya akan membuat kita terdorong arus, bukan mengendalikannya.
0 komentar:
Posting Komentar