Antara Bebas Aktif dan Realitas Global
Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Indonesia telah berupaya keras menjaga posisinya sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dunia. Salah satu manifestasi utama dari tekad ini adalah prinsip politik luar negeri bebas aktif. Dalam konsepsi ini, Indonesia menolak untuk masuk ke dalam kubu atau aliansi kekuatan dunia mana pun, tetapi tetap aktif mengambil peran dalam menciptakan tatanan dunia yang damai dan adil.
Namun, dalam perjalanannya, prinsip ini tidak berjalan tanpa tantangan. Dalam dunia global yang kian kompleks—dengan berbagai konflik, krisis ekonomi, rivalitas geopolitik, hingga tekanan dari negara-negara besar—posisi netral Indonesia kerap diuji. Pertanyaannya kini: apakah netralitas Indonesia masih murni berdiri di atas prinsip, ataukah telah mulai digeser oleh kalkulasi kepentingan nasional, terutama ekonomi dan politik praktis?
Bebas Aktif Sebagai Jalan Tengah
Konsep bebas aktif pertama kali disampaikan oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya yang terkenal pada 2 September 1948, berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang". Dalam pidato itu, Hatta menekankan bahwa Indonesia tidak akan berpihak kepada blok manapun dalam Perang Dingin (yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet), melainkan akan mengambil jalur independen, sembari tetap aktif berperan dalam menciptakan perdamaian dunia.
Prinsip ini menjadi dasar berbagai kebijakan luar negeri Indonesia, termasuk penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, serta partisipasi dalam mendirikan Gerakan Non-Blok pada tahun 1961. Indonesia kala itu tampil sebagai suara dari negara-negara dunia ketiga yang tidak ingin menjadi pion dalam permainan geopolitik negara-negara besar.
Transformasi Dunia dan Tantangan Baru
Memasuki abad ke-21, tantangan terhadap netralitas Indonesia semakin kompleks. Jika dahulu tekanan datang dari dua blok ideologis besar (kapitalis vs komunis), kini tekanan datang dari berbagai arah: ekonomi global, diplomasi multilateral, konflik bersenjata regional, hingga perang dagang dan teknologi.
Berikut beberapa isu besar yang menunjukkan bagaimana prinsip netralitas Indonesia diuji:
1. Konflik Rusia–Ukraina
Saat invasi Rusia ke Ukraina dimulai pada 2022, banyak negara Barat menuntut dukungan dari negara-negara berkembang untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Indonesia memilih untuk tidak ikut menjatuhkan sanksi, dengan alasan bahwa langkah tersebut bertentangan dengan prinsip bebas aktif. Di sisi lain, Indonesia tetap menyerukan penghormatan terhadap kedaulatan Ukraina di berbagai forum internasional.
Namun, sikap ini dikritik oleh sebagian pihak sebagai bentuk "ambiguitas moral" karena tidak menyebut Rusia sebagai agresor secara eksplisit. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia menjaga netralitas karena prinsip, atau karena ketergantungan pada perdagangan dan energi dengan Rusia ?
2. Ketegangan di Laut Cina Selatan
Wilayah Laut Cina Selatan menjadi titik panas geopolitik, terutama karena klaim sepihak Republik Rakyat Tiongkok yang memasukkan sebagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia ke dalam "sembilan garis putus" mereka. Meskipun Indonesia secara konsisten menolak klaim tersebut, hubungan ekonomi dengan Tiongkok tetap dijaga erat.
Indonesia harus bermain hati-hati: menegaskan kedaulatan di Natuna, namun tidak sampai merusak hubungan dagang dan investasi yang begitu penting, terutama di sektor infrastruktur melalui program Belt and Road Initiative.
3. Isu Palestina dan Israel
Dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina merupakan salah satu contoh konsistensi moral yang terus dipertahankan. Indonesia hingga saat ini tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, meskipun ada tekanan dari beberapa negara sahabat untuk melakukannya demi alasan strategis dan ekonomi.
Namun demikian, di saat negara-negara Arab mulai membuka hubungan dengan Israel lewat Abraham Accords, Indonesia tetap bertahan di posisinya, menegaskan bahwa pengakuan terhadap Palestina merdeka adalah syarat mutlak.
Kepentingan Nasional: Ekonomi sebagai Pertimbangan Kunci
Dalam era globalisasi, pertimbangan ekonomi menjadi semakin dominan dalam kebijakan luar negeri. Indonesia menyadari bahwa menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan besar dunia merupakan hal esensial untuk stabilitas ekonomi domestik.
Misalnya:
-
Tiongkok adalah mitra dagang terbesar dan investor utama dalam proyek infrastruktur strategis.
-
Amerika Serikat tetap penting sebagai mitra keamanan dan teknologi.
-
Rusia masih relevan dalam sektor pertahanan dan energi.
Dalam konteks ini, netralitas menjadi sarana mengelola relasi global secara fleksibel, bukan semata-mata berdiri di atas idealisme moral. Ini adalah bentuk diplomasi yang realistis: menjaga kepentingan nasional tanpa harus sepenuhnya tunduk pada kekuatan luar.
Kritik dan Tantangan dari Dalam Negeri
Di dalam negeri, sikap netral Indonesia tidak selalu diterima secara bulat. Masyarakat sipil, LSM, akademisi, dan media sering kali mendorong pemerintah untuk bersikap lebih tegas dalam menanggapi isu-isu global, terutama yang menyangkut pelanggaran HAM dan kedaulatan negara lain.
Kritik terhadap "netralitas setengah hati" muncul, misalnya dalam kasus Rohingya di Myanmar, konflik kemanusiaan di Gaza, atau bahkan isu pelanggaran demokrasi di negara-negara mitra dagang Indonesia. Pemerintah dinilai terlalu berhati-hati, bahkan terkesan "diam", dalam menghadapi isu-isu tersebut.
Menuju Netralitas Strategis dan Bermartabat
Netralitas Indonesia tidak seharusnya dimaknai sebagai abstain atau menghindar dari konflik internasional. Sebaliknya, Indonesia perlu mengembangkan konsep netralitas strategis, yakni:
-
Bersikap tegas terhadap pelanggaran hukum internasional, dengan tetap menjaga komunikasi dengan semua pihak.
-
Memperkuat peran sebagai mediator dan juru damai, sebagaimana pernah dilakukan dalam konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Timor Leste.
-
Membangun ketahanan nasional, agar tidak mudah ditekan oleh kekuatan global.
-
Memprioritaskan diplomasi multilateral dan regional, terutama melalui ASEAN, OKI, dan PBB.
Prinsip atau Kepentingan?
Netralitas Indonesia akan terus diuji dalam dunia yang semakin kompleks dan kompetitif. Di satu sisi, prinsip moral dan idealisme kebangsaan harus terus dijaga. Di sisi lain, realitas geopolitik dan tuntutan pembangunan ekonomi tidak bisa diabaikan.
Yang perlu dipastikan adalah bahwa kepentingan nasional tidak boleh menggerus nilai dan karakter Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai, adil, dan merdeka dalam bersikap. Selama prinsip bebas aktif tetap dikawal dengan kesadaran strategis, Indonesia bisa menjadi aktor penting yang menjembatani dunia yang terbelah.
Netralitas bukan hanya soal tidak memihak—tetapi soal bagaimana berpihak pada perdamaian, keadilan, dan kepentingan nasional secara seimbang.
0 komentar:
Posting Komentar