Rabu, 09 Juli 2025

“Trump Ancam Naikkan Tarif Negara BRICS, China Akhirnya Buka Suara”


presiden AS :Donald Trump

Rencana Presiden Donald Trump menerapkan tarif impor tambahan kepada negara BRICS termasuk Indonesia menjadi sorotan berita internasional pada Senin (7/7).Calon-calon Duta Besar RI yang bakal dilantik Presiden Prabowo Subianto juga turut menjadi perhatian. Berikut kilas berita internasional.

China menegaskan negara-negara anggota BRICS tak berniat meletuskan perang dagang dengan Amerika Serikat.Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan BRICS tidak berupaya mencari konfrontasi dengan AS menyusul pernyataan bersamanya yang membuat marah Presiden AS Donald Trump.

"Mengenai pengenaan tarif, China telah berulang kali menyatakan bahwa perang dagang dan tarif tak akan melahirkan pemenang dan proteksionisme tidak menawarkan jalan keluar," kata Mao, seperti dikutip AFP, Senin (7/7).

Nama Nurmala Kartini Sjahrir menjadi sorotan publik setelah diusulkan Presiden Prabowo Subianto sebagai calon Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang.Tokoh perempuan senior ini menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di hadapan Komisi I DPR RI pada Sabtu, 7 Mei 2025.

Penunjukan ini merupakan bagian dari daftar 24 nama calon duta besar yang diajukan Presiden Prabowo.

Senin, 07 Juli 2025

Terjebak Algoritma: Sisi Gelap Media Sosial yang Perlu kamu Waspadai



Dunia yang Tak Lagi Netral

Di era digital, hampir setiap detik hidup kita bersinggungan dengan media sosial. Kita bangun tidur dengan notifikasi, bekerja dengan jeda-scroll, dan tidur setelah menyimak video terakhir yang "kebetulan" muncul di beranda. Tapi semua itu bukan kebetulan. Di balik layar ponsel kamu , algoritma bekerja dalam senyap—mengatur, memilih, dan menyodorkan apa yang dianggap cocok bagi kamu  Bukan untuk membuat kamu pintar, tapi agar kamu betah.

Media sosial mungkin tampak gratis, tapi kenyataannya kamu adalah produknya. Artikel ini mengajak kamu  menyadari sisi gelap dari kecanggihan algoritma media sosial—karena semakin lama kita tak sadar, semakin dalam kita terjebak.

1. Bagaimana Algoritma Mengendalikan Perhatian kamu

Algoritma media sosial adalah sistem kecerdasan buatan yang dirancang untuk memprediksi dan membentuk perilaku pengguna. Setiap likes, komentar, waktu tayang, bahkan berapa detik kamu  berhenti di satu unggahan, semuanya dicatat. Data ini diproses agar platform bisa memberi kamu  konten yang “membuat kamu tetap di sana.”

Hal ini membuat beranda kamu tidak netral—ia dikurasi khusus untuk kamu tapi dengan satu tujuan utama: memaksimalkan waktu penggunaan, bukan memberi manfaat.

Contohnya:

  • Video yang membangkitkan kemarahan, konflik, atau kejutan lebih sering ditampilkan.

  • Konten edukatif kalah pamor dengan video singkat berisi sensasi atau drama

2. Ketagihan yang Didisain:kamu Tidak Lemah, kamu  Dirancang untuk Kecanduan

Media sosial dirancang untuk meniru pola adiktif seperti mesin judi. Setiap kali kamu menyegarkan beranda dan melihat konten baru, otak kamu mendapatkan dopamin—zat kimia kebahagiaan. Tapi seperti candu, dosisnya terus meningkat.

Desain seperti:

  • Scroll tak terbatas (infinite scroll)

  • Autoplay otomatis

  • Notifikasi yang dibuat personal

...semua bertujuan satu: jangan berhenti

Dalam jangka panjang, ini berdampak pada:

  • Gangguan fokus dan perhatian

  • Insomnia

  • Penurunan produktivitas

  • Kecemasan saat tidak membuka media sosial (FOMO)

3. Filter Bubble dan Echo Chamber: Dunia Semakin Sempit

Algoritma akan terus menyodorkan konten serupa dari apa yang kamu sukai atau percayai. Akibatnya, kamu akan:

  • Hanya melihat sudut pandang yang sama (filter bubble)

  • Terjebak dalam ruang gema (echo chamber), di mana semua orang setuju dengan kamu

Dampaknya sangat berbahaya dalam konteks sosial-politik:

  • Meningkatkan polarisasi

  • Menyebabkan misinformasi atau hoaks menyebar cepat

  • Membuat masyarakat semakin sulit berdialog dengan pihak berbeda pendapat

kamu  mungkin merasa makin yakin akan kebenaran kamu  padahal itu hanya hasil dari paparan informasi sepihak yang diatur algoritma.

4. Dampak Psikologis: Dunia Maya yang Merusak Citra Diri

Di media sosial, orang menampilkan versi terbaik dari diri mereka—tubuh ideal, liburan mahal, pasangan sempurna, kehidupan sukses. Ini menciptakan standar yang tak realistis dan membuat banyak orang merasa gagal hanya karena tidak hidup “seindah itu.”

Efeknya:

  • Kecemasan sosial dan perbandingan diri

  • Depresi, terutama di kalangan remaja

  • Body image issues

  • Perasaan kesepian meski selalu ‘terhubung’

Ironisnya, media sosial yang disebut menghubungkan kita justru menciptakan jurang emosional antara kenyataan dan persepsi.

5. Privasi dan Eksploitasi Data: kamu Diawasi Tanpa Sadar

Untuk bisa bekerja, algoritma butuh data kamu . Semua interaksi kamu  lokasi, pencarian, bahkan gerakan jari kamu di layar bisa direkam dan dipelajari. Tujuannya? Untuk dijual ke pengiklan dan pembuat konten agar bisa menarget kamu lebih spesifik.

Masalahnya:

  • Banyak platform tidak transparan tentang data apa yang dikumpulkan.

  • Data bisa bocor, disalahgunakan, atau dimanipulasi.

  • kamu tidak pernah benar-benar "offline".

Slogan “jika gratis, maka kamu adalah produknya” bukan lelucon—itu kenyataan.

6. Disinformasi dan Manipulasi Opini Publik

Media sosial telah menjadi alat manipulasi politik. Dari pemilu di Amerika, Brexit, hingga penyebaran ujaran kebencian di berbagai negara, algoritma terbukti membantu memperluas jangkauan konten yang sensasional meski tidak akurat.

Banyak pihak memanfaatkan algoritma untuk:

  • Menyebarkan propaganda

  • Menargetkan kelompok tertentu dengan konten manipulatif

  • Menggerakkan massa secara digital demi agenda tertentu.

7. Apa yang Bisa Kita Lakukan? Strategi Bertahan di Era Algoritma

a. Sadar Digital (Digital Awareness)

Pahami bahwa semua yang kamu  lihat telah dikurasi. Jangan langsung percaya dan pelajari cara kerja platform yang Anda gunakan.

b. Kelola Waktu dan Notifikasi

Gunakan aplikasi pemantau screen time. Matikan notifikasi yang tidak penting. Atur waktu khusus untuk menggunakan media sosial.

c. Diversifikasi Sumber Informasi

Ikuti akun dengan perspektif berbeda. Baca dari media luar. Jangan biarkan algoritma mengurung kamu dalam gelembung sempit.

d. Prioritaskan Konten Berkualitas

Berinteraksilah dengan konten edukatif, humanis, dan informatif agar algoritma belajar bahwa itu yang kamu sukai.

e. Jangan Takut Rehat

Detoks digital adalah hal sehat. Bahkan satu hari tanpa media sosial bisa berdampak besar bagi kesehatan mental.

Algoritma Tak Berniat Jahat Tapi Kita Perlu Waspada

Algoritma tidak jahat, tapi ia dirancang untuk menjaga perhatian kamu , bukan menjagakamu.
Ia tak tahu perbedaan antara konten edukatif dan hoaks, antara inspirasi dan tekanan mental—selama kamu klik, like, dan tonton, itu berarti berhasil.

Di zaman di mana atensi menjadi komoditas, kesadaran adalah bentuk kebebasan terakhir. Jangan biarkan dunia yang didesain orang lain menentukan cara kamu  berpikir, merasa, dan melihat diri sendiri. Kitalah yang seharusnya mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya.

BRICS Melejit: Ekonomi Kolektif Tembus Rp 490.000 Triliun, RI Berapa?



Negara-negara anggota BRICS resmi menggelar pertemuan tingkat tinggi (KTT) dalam forum 17th BRICS Summit yang berlangsung pada 6-7 Juli 2025 di Rio de Janeiro, Brasil.

Pertemuan tahun ini menandai pertama kalinya Indonesia hadir secara resmi sebagai anggota penuh BRICS, ini menjadi langkah penting dalam reposisi peran Indonesia di kancah ekonomi dan geopolitik global. Kehadiran Indonesia dinilai akan memperkuat posisi BRICS sebagai aliansi ekonomi negara berkembang dengan pengaruh yang semakin besar dalam tatanan global.

Para pemimpin negara-negara BRICS pada Minggu (6/7/2025), menyambut Indonesia sebagai anggota penuh BRICS, hal ini bersamaan dengan masuknya 10 negara mitra BRICS.

"Kami menyambut Republik Indonesia sebagai anggota BRICS, demikian pula Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Nigeria, Malaysia, Thailand, Vietnam, Uganda, dan Uzbekistan sebagai negara mitra BRICS," Ujar Pemimpin BRICS dikutip dari ddnews.

BRICS pada awalnya didirikan pada tahun 2009 dengan negara awalnya adalah Brazil, Rusia, India, dan China. Namun pada tahun 2010, Afrika Selatan resmi bergabung sebagai anggota BRICS. Setelah itu pada tahun lalu, BRICS resmi menambah anggota baru sejumlah enam negara, mulai dari Mesir, Indonesia, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.

Jika dilihat skala ekonomi negara-negara anggota BRICS, tercatat total Growth Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) gabungan mencapai US$30,2 triliun atau setara dengan Rp489.546 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1) berdasarkan data GDP 2024. 

Angka tersebut mencerminkan sekitar 27% dari total GDP global, yang mencapai USS111,3 triliun atau setara dengan Rp1.806.699 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1). Capaian ini menunjukkan posisi strategis BRICS sebagai blok ekonomi negara berkembang yang memiliki kontribusi signifikan dalam perekonomian dunia.

Dalam KTT BRICS 2025 di Brasil, BRICS menyoroti tentang beberapa kondisi terkini geopolitik dan ekonomi global.

Dalam KTT tersebut, BRICS mengutuk keras serangan terhadap Gaza dan Iran, serta mendesak reformasi institusi global, serta menegaskan posisi BRICS sebagai kekuatan multilateral baru yang siap mengisi kekosongan diplomasi internasional.

Selain itu, BRICS juga turut membahas mengenai penetapan tarif resiprokal yang tengah di mainkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, BRICS menilai ini sebagai ancaman serius terhadap sistem perdagangan global. Kritik ini secara implisit diarahkan pada kebijakan proteksionis Trump, yang dari awal masa jabatannya mengedepankan agenda "America First".

Jika melihat skala ekonomi negara-negara mitra BRICS, total GDP gabungan mereka mencapai sekitar US$3,8 triliun, atau setara dengan Rp61.674 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1)

Dengan demikian, jika digabungkan antara kekuatan ekonomi negara-negara anggota BRICS dan para mitranya, total GD Pkolektif mencapai sekitar US$34 triliun atau setara dengan Rp552.420 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1). Angka ini menegaskan posisi BRICS dan mitranya sebagai kekuatan ekonomi global yang tidak bisa diabaikan.

Bagi Indonesia yang menandai pertama kalinya hadir di KTT BRICS sebagai anggota resmi merupakan kesempatan strategis untuk memperkuat praktik diplomasi ekonomi yang bebas dan aktif, sekaligus memperluas peran dalam proses pengambilan keputusan di tingkat global. Dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten, Indonesia berpotensi menjadi salah satu kekuatan utama dalam mewujudkan masa depan BRICS yang lebih inklusif dan berdaya saing tinggi.

Minggu, 06 Juli 2025

Netral Tapi Tak Bebas: Dilema Indonesia di Tengah Krisis Global



 Dalam panggung politik internasional yang kian memanas—dari perang di Ukraina, konflik Israel-Iran, hingga rivalitas Tiongkok-Amerika Serikat—Indonesia berdiri di tengah pusaran, membawa bendera netralitas yang sudah lama dipegang sejak era Konferensi Asia-Afrika. Tapi di balik prinsip "bebas aktif" yang diagung-agungkan, muncul pertanyaan besar: benarkah Indonesia bebas? Atau justru netralitas itu menyandera pilihan dan arah kebijakan luar negeri kita?

Prinsip Lama dalam Dunia Baru

Prinsip netralitas Indonesia bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Sejak Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, Indonesia sudah menegaskan posisinya: tidak memihak blok Barat atau Timur. Presiden Soekarno waktu itu ingin membangun solidaritas negara-negara baru di Asia dan Afrika, yang tidak ingin jadi pion dalam Perang Dingin.

Namun, zaman berubah. Ketika dunia saat ini tidak lagi hanya dibelah oleh ideologi, melainkan juga oleh kekuatan ekonomi dan militer, netralitas menjadi lebih rumit dan penuh risiko. Tidak lagi cukup untuk hanya ‘berdiri di tengah’—karena pihak-pihak yang bertikai menuntut kejelasan sikap..

Contohnya:

Kasus Rusia-Ukraina: Diam yang Menggema

Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, banyak negara dunia mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional dan kedaulatan negara. Indonesia, meski menyuarakan keprihatinan dan menyerukan perdamaian, menolak mengecam Rusia secara langsung.

Hal ini menimbulkan reaksi beragam. Di dalam negeri, sebagian publik mendukung langkah pemerintah sebagai bagian dari “diplomasi damai.” Tapi di dunia internasional, khususnya Barat, sikap ini dianggap ambigu.

Fakta bahwa Indonesia tetap mengundang Rusia dalam forum-forum internasional seperti G20 menambah kesan bahwa Indonesia lebih mementingkan stabilitas dan hubungan ekonomi ketimbang prinsip moral internasional. Sekali lagi, netralitas Indonesia diuji: Apakah ini strategi bijak atau ketidaktegasan?

Konflik Timur Tengah: Antara Sentimen Publik dan Diplomasi Strategis

Isu Palestina selalu menjadi titik sensitif bagi politik luar negeri Indonesia. Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina menjadi bagian dari DNA diplomatik Indonesia. Namun ketika konflik Israel-Iran memanas, Indonesia menghadapi dilema baru.

Di satu sisi, opini publik sangat mendukung Palestina dan mengecam Israel. Tapi di sisi lain, Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara Arab Teluk, yang kini mulai menormalisasi hubungan dengan Israel. Di tengah tekanan itu, Indonesia tetap mengutuk tindakan kekerasan namun tidak serta merta mengambil sikap ekstrem seperti pemutusan hubungan diplomatik dengan negara tertentu.

Pertanyaannya: apakah ini bentuk diplomasi seimbang atau ketakutan kehilangan kepentingan ekonomi dan politik?

Kepentingan Ekonomi vs Prinsip Moral

Indonesia kini bukan sekadar negara berkembang yang “bebas bersuara.” Kita sudah terhubung dalam jaringan ekonomi global—dari investasi Tiongkok di infrastruktur hingga kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat. Netralitas menjadi medan yang licin: di satu sisi menjaga kestabilan dalam negeri, di sisi lain harus bermanuver agar tak kehilangan mitra dagang utama.

Konflik Timur Tengah juga jadi ujian. Ketika sentimen publik mendorong dukungan terhadap Palestina, pemerintah harus berhati-hati agar tidak merusak hubungan dengan negara-negara Teluk dan mitra strategis lain.

Tekanan Domestik dan Internasional

Netralitas Indonesia juga diganggu oleh tekanan dalam negeri: opini publik yang vokal, politik identitas, dan keinginan elit politik untuk tampil “berwibawa” di kancah global. Tapi dunia luar tak selalu melihat niat baik. Banyak negara Barat kini menilai netralitas sebagai ketidakjelasan posisi. Padahal, Indonesia mengklaim peran sebagai juru damai atau fasilitator.

Yang lebih rumit, Indonesia sering terjebak dalam diplomasi simbolik: kunjungan, pidato, atau mediasi yang tak membuahkan hasil konkret. Netralitas jadi semacam pertunjukan, bukan strategi nyata.

Netral, Tapi ke Mana Arah Kita?

Menjadi netral bukan berarti tak memilih sisi. Ini tentang bagaimana Indonesia bisa tetap berdaulat dalam keputusan, namun tetap responsif terhadap dinamika global. Tantangannya adalah:

  • Bagaimana bersikap tegas tanpa kehilangan hubungan strategis?

  • Bagaimana menjaga prinsip tanpa terisolasi secara ekonomi?

  • Bagaimana memainkan peran global tanpa jadi pion dalam permainan besar?

Netral Bukan Berarti Tidak Bertindak

Di dunia yang makin kompleks dan terpecah, sikap netral bukan berarti diam atau pasif. Netralitas adalah seni berjalan di atas tali diperlukan keseimbangan, kecermatan, dan keberanian.

Indonesia punya peluang untuk menjadi suara yang independen dan dihormati, tapi itu hanya bisa terjadi jika netralitas dibarengi dengan kejelasan arah, integritas moral, dan keberanian diplomatik. Di era krisis global, netral tapi tak bebas hanya akan membuat kita terdorong arus, bukan mengendalikannya.

Sabtu, 05 Juli 2025

Generasi Sandwich dan Tekanan Finansial: Siapa Peduli?

 


Di balik wajah-wajah produktif para pekerja usia 25–45 tahun, tersembunyi satu beban tak terlihat namun sangat nyata: menjadi generasi sandwich. Mereka bukan sekadar generasi yang harus bekerja keras membangun masa depan—mereka juga menjadi tumpuan utama bagi dua generasi lainnya: orang tua yang menua dan anak-anak yang sedang tumbuh.

Di banyak keluarga Asia, termasuk Indonesia, nilai-nilai seperti bakti kepada orang tua dan tanggung jawab terhadap anak dianggap mutlak. Namun, ketika tanggung jawab ini bertumpuk dalam satu piring kehidupan tanpa dukungan sistemik yang memadai, muncullah tekanan finansial, emosional, dan bahkan mental yang luar biasa besar.

“Generasi Sandwich: Hidup di Antara Dua Kewajiban, Tanpa Pilihan”

Di pagi hari, mereka mengantar anak ke sekolah. Di malam hari, mereka mengantar orang tua ke rumah sakit. Di siang bolong, mereka mengejar tenggat kerja. Di akhir bulan, mereka mengejar utang yang belum lunas. Mereka adalah generasi sandwich—generasi terjepit yang diam-diam memanggul dua beban besar tanpa peta jalan.

Kita sering memuja kerja keras, menyulut semangat produktif, dan menyebarkan kutipan motivasi: “Kamu pasti bisa!”. Tapi siapa yang benar-benar bertanya: Apakah kamu baik-baik saja?

Siapa Itu Generasi Sandwich?

Istilah “generasi sandwich” merujuk pada kelompok individu dewasa yang secara bersamaan menanggung kebutuhan finansial dan emosional orang tua serta anak-anak mereka. Mereka “terjepit” di antara dua generasi, mirip dengan daging dalam sepotong roti sandwich.

Misalnya, seorang pria berusia 35 tahun bisa saja harus membiayai pengobatan ibunya yang sakit kronis, membayar uang sekolah dua anak, mencicil KPR, dan tetap tampil sebagai karyawan teladan di kantor. Semua dilakukan dalam waktu bersamaan—tanpa jeda.

Tanggung Jawab Berlapis Tanpa Kompensasi

Masalah utama generasi sandwich adalah keuangan. Berikut beberapa bentuk tekanan yang paling umum:

  • Biaya hidup yang terus naik: Kenaikan harga kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan yang signifikan.

  • Ketiadaan dana pensiun orang tua: Banyak orang tua dari generasi ini tidak memiliki tabungan hari tua, membuat anak menjadi satu-satunya tumpuan.

  • Anak-anak yang semakin mahal: Pendidikan yang kompetitif dan kebutuhan gawai, kursus, hingga biaya sosial menjadikan anak-anak “investasi” jangka panjang yang mahal.

  • Utang konsumtif dan cicilan: Dari cicilan rumah, kendaraan, hingga kartu kredit—semuanya menumpuk dan menggerus penghasilan bulanan.

Lebih buruk lagi, banyak dari generasi ini juga belum bisa menabung untuk masa tua mereka sendiri karena semua uang habis untuk kebutuhan saat ini.

Dimensi Psikologis: Lelah Tak Terucapkan

Tak hanya dari sisi keuangan, generasi sandwich juga rentan terhadap tekanan psikologis. Mereka kerap merasa bersalah karena tak bisa sepenuhnya hadir untuk orang tua maupun anak. Mereka pun kerap mengalami:

  • Burnout kronis

  • Gangguan kecemasan dan depresi

  • Perasaan gagal atau tidak cukup baik

Dan karena budaya kita sering kali menormalisasi pengorbanan sebagai tanda kasih, banyak dari mereka yang merasa tak punya ruang untuk mengeluh. Kalimat seperti “Namanya juga anak” atau “Itu sudah kewajibanmu” justru menambah luka yang seharusnya bisa diobati dengan empati dan pemahaman.

Lalu, Siapa Peduli?

Itulah pertanyaan paling menyakitkan—karena jawabannya sering kali: hampir tidak ada.

Pemerintah belum memiliki skema kebijakan yang komprehensif untuk menopang kelompok ini, baik melalui subsidi pendidikan, layanan kesehatan lansia, maupun jaminan sosial yang kuat. Sektor swasta pun masih melihat stres karyawan sebagai masalah individu, bukan sistemik.

Masyarakat pun lebih banyak menghakimi dibanding memahami. Di media sosial, mereka yang mengeluh tentang kelelahan hidup sering dituding “kurang bersyukur”. Alih-alih didengarkan, mereka dibungkam dengan kalimat motivasi semu.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Meski tantangannya besar, bukan berarti generasi sandwich tidak punya harapan. Berikut beberapa langkah yang bisa menjadi solusi, setidaknya dalam jangka menengah:

  1. Perencanaan keuangan yang realistis
    Konsultasi keuangan dan budgeting sangat penting. Mengelola utang dan membuat prioritas bisa mengurangi beban.

  2. Komunikasi terbuka dalam keluarga
    Mengajak orang tua dan pasangan berdiskusi tentang kemampuan finansial akan menciptakan pemahaman bersama.

  3. Mendorong kebijakan publik yang berpihak
    Generasi sandwich harus bersuara dalam ruang demokrasi, mendorong pemerintah menghadirkan skema perlindungan sosial yang kuat

  4. Merawat kesehatan mental
    Konseling, support group, atau bahkan sekadar berbicara dengan teman yang mengerti bisa sangat membantu.

Kapan Mereka Bisa Hidup untuk Diri Sendiri?

Pertanyaan besar yang jarang dijawab: kapan generasi sandwich bisa hidup hanya untuk dirinya sendiri?

Jawabannya? Mungkin nanti. Setelah orang tua tutup usia. Setelah anak-anak mandiri. Setelah utang selesai. Tapi siapa yang menjamin mereka masih sehat? Masih utuh? Masih punya semangat hidup?

Bukan Menuntut, Tapi Mengajak Peduli

Ini bukan seruan untuk memberontak pada keluarga. Ini bukan ajakan untuk lari dari tanggung jawab. Tapi ini adalah pengingat bahwa generasi sandwich juga manusia. Mereka butuh ruang untuk bernapas, bukan hanya untuk berjuang.

Kita bisa mulai dari hal sederhana:

  • Memberi cuti yang lebih fleksibel bagi pekerja yang mengurus lansia.

  • Mendorong pendidikan literasi keuangan sejak dini.

  • Membuka forum diskusi publik soal kesehatan mental dalam keluarga.

  • Dan yang paling penting: berhenti menghakimi pilihan hidup orang.

Generasi sandwich tidak selalu bersuara. Tapi mereka ada. Mereka lelah, namun tetap berjalan. Mereka diam, tapi tidak menyerah. Di tengah dunia yang sibuk membicarakan “healing” dan “self love”, mungkin sudah saatnya kita bertanya: siapa yang membantu mereka yang bahkan tak sempat mencintai dirinya sendiri?

Jumat, 04 Juli 2025

Apa Kata Ilmu Tentang Makan Malam Lewat Jam 8?



 Kebiasaan makan malam di atas pukul 8 malam seringkali dikaitkan dengan gaya hidup modern—aktivitas kerja yang panjang, kemacetan lalu lintas, hingga pola tidur yang bergeser ke larut malam. Namun, dari sudut pandang ilmu gizi dan kesehatan metabolik, kebiasaan ini dapat membawa dampak yang signifikan terhadap tubuh, terutama jika menjadi kebiasaan jangka panjang.

Apa Itu Late-Night Eating?

Dalam literatur ilmiah, makan malam lewat dari pukul 8 malam dikategorikan sebagai late-night eating atau "makan larut malam". Tidak ada batas waktu yang universal, tetapi banyak penelitian menetapkan pukul 8 malam sebagai ambang batas waktu makan malam yang "aman", karena setelah waktu tersebut tubuh mulai memasuki fase persiapan tidur dan memperlambat proses metabolisme.

Late-night eating juga sering dikaitkan dengan circadian misalignment—ketidaksesuaian antara waktu makan dengan jam biologis tubuh.

2. Ritme Sirkadian dan Waktu Makan

Tubuh manusia memiliki ritme sirkadian—jam biologis internal selama 24 jam yang mengatur berbagai fungsi tubuh seperti hormon, suhu tubuh, siklus tidur-bangun, dan metabolisme. Ritme ini sangat dipengaruhi oleh cahaya dan waktu makan.

Secara biologis, tubuh dirancang untuk menerima makanan pada siang hingga sore hari. Ketika kita makan pada malam hari (terutama lewat pukul 8 atau 9 malam), kita memberi beban metabolik pada tubuh saat organ-organ utama seperti pankreas (yang memproduksi insulin) sudah mulai "beristirahat".

Penelitian dari jurnal Cell Metabolism menyebutkan bahwa makan larut malam menyebabkan penurunan respons insulin, peningkatan gula darah postprandial (setelah makan), dan peningkatan penyimpanan lemak.

3. Konsep Chrononutrition: Ilmu Gizi Berbasis Waktu

Chrononutrition adalah cabang baru dari ilmu gizi yang meneliti hubungan antara waktu makan dan ritme sirkadian. Dalam pendekatan ini, bukan hanya apa yang kita makan yang penting, tetapi juga kapan kita makan.

Penelitian di Eropa menunjukkan bahwa individu yang makan besar setelah pukul 20.00 memiliki:

  • Risiko obesitas 20-25% lebih tinggi

  • Gangguan tidur dan kualitas tidur menurun

  • Peningkatan risiko diabetes tipe 2

  • Peningkatan kadar kortisol (hormon stres).

4.apa dampakmya jika makan maam terlalu telat

a.Gangguan Pencernaan

Makan malam terlalu larut, apalagi jika langsung tidur setelah makan, bisa memicu gangguan lambung seperti refluks asam lambung (GERD) dan perut kembung. Ini karena saat tidur, posisi tubuh horizontal memperlambat pengosongan lambung.

b. Penumpukan Lemak

Tubuh lebih cenderung menyimpan kalori dari malam hari sebagai lemak. Hal ini berkaitan dengan menurunnya thermic effect of food (energi yang digunakan tubuh untuk mencerna makanan) saat malam hari.

c. Resistensi Insulin

Makan malam lewat dari jam 8 malam secara rutin meningkatkan risiko resistensi insulin, yaitu kondisi di mana sel tubuh tidak merespons insulin dengan baik. Ini adalah salah satu penyebab utama diabetes tipe 2.

d. Kualitas Tidur Menurun

Tubuh yang sedang mencerna makanan besar akan mengalami peningkatan suhu inti tubuh dan aktivitas pencernaan, yang bisa mengganggu fase tidur nyenyak (deep sleep).

5. Studi Kasus dan Penelitian Ilmiah

Beberapa studi penting yang mendukung bahaya makan malam lewat dari jam 8 antara lain:

  • Harvard Medical School (2016):
    Menemukan bahwa makan besar setelah jam 8 malam meningkatkan risiko obesitas, terutama di kalangan wanita.

  • International Journal of Obesity (2018):
    Studi terhadap 420 orang menemukan bahwa mereka yang makan malam sebelum pukul 20.00 memiliki tingkat pembakaran kalori yang lebih tinggi dibanding yang makan lewat dari waktu tersebut.

  • The American Journal of Clinical Nutrition (2020):
    Menunjukkan bahwa makan malam lewat jam 9 malam berhubungan dengan peningkatan kadar lemak darah dan gangguan metabolisme.


6. Apakah Semua Orang Terpengaruh Sama?

Tidak. Jam biologis setiap individu berbeda. Ada yang disebut "chronotype", yaitu tipe waktu alami seseorang. Beberapa orang adalah morning type (lebih aktif pagi hari), sementara lainnya adalah evening type (lebih aktif malam hari).

Namun, secara umum, evening chronotype yang makan larut malam tetap lebih rentan mengalami gangguan metabolisme dibandingkan mereka yang makan lebih awal.

7. Tips Sehat Jika Terpaksa Makan Lewat Jam 8

Jika kamu terpaksa makan malam larut karena pekerjaan atau kebiasaan, berikut beberapa saran yang bisa membantu mengurangi dampak negatifnya:

  • Pilih makanan ringan dan mudah dicerna, seperti sup sayur, oatmeal, atau ikan kukus.

  • Hindari makanan berlemak, pedas, dan tinggi gula.

  • Beri jeda setidaknya 2 jam sebelum tidur.

  • Perbanyak air putih dan hindari minuman manis.

  • Jaga porsi kecil dan hindari makan sambil menonton TV atau bekerja.

lmu pengetahuan modern menyebutkan bahwa waktu makan sama pentingnya dengan kualitas makanan itu sendiri. Makan malam lewat pukul 8 secara rutin dapat mengganggu ritme sirkadian, memperburuk metabolisme, dan meningkatkan risiko penyakit kronis. Konsep chrononutrition dan late-night eating kini menjadi perhatian utama para ahli gizi dan dokter, terutama di era modern yang serba cepat. Menjadikan makan malam sebagai aktivitas ringan dan tepat waktu bukan hanya soal disiplin, tetapi juga soal menjaga tubuh tetap seimbang dan sehat secara jangka panjang.

Kamis, 03 Juli 2025

Netralitas Indonesia: Antara Prinsip dan Kepentingan


Antara Bebas Aktif dan Realitas Global 

Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Indonesia telah berupaya keras menjaga posisinya sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dunia. Salah satu manifestasi utama dari tekad ini adalah prinsip politik luar negeri bebas aktif. Dalam konsepsi ini, Indonesia menolak untuk masuk ke dalam kubu atau aliansi kekuatan dunia mana pun, tetapi tetap aktif mengambil peran dalam menciptakan tatanan dunia yang damai dan adil.

Namun, dalam perjalanannya, prinsip ini tidak berjalan tanpa tantangan. Dalam dunia global yang kian kompleks—dengan berbagai konflik, krisis ekonomi, rivalitas geopolitik, hingga tekanan dari negara-negara besar—posisi netral Indonesia kerap diuji. Pertanyaannya kini: apakah netralitas Indonesia masih murni berdiri di atas prinsip, ataukah telah mulai digeser oleh kalkulasi kepentingan nasional, terutama ekonomi dan politik praktis?

Bebas Aktif Sebagai Jalan Tengah

Konsep bebas aktif pertama kali disampaikan oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya yang terkenal pada 2 September 1948, berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang". Dalam pidato itu, Hatta menekankan bahwa Indonesia tidak akan berpihak kepada blok manapun dalam Perang Dingin (yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet), melainkan akan mengambil jalur independen, sembari tetap aktif berperan dalam menciptakan perdamaian dunia.

Prinsip ini menjadi dasar berbagai kebijakan luar negeri Indonesia, termasuk penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, serta partisipasi dalam mendirikan Gerakan Non-Blok pada tahun 1961. Indonesia kala itu tampil sebagai suara dari negara-negara dunia ketiga yang tidak ingin menjadi pion dalam permainan geopolitik negara-negara besar.

Transformasi Dunia dan Tantangan Baru

Memasuki abad ke-21, tantangan terhadap netralitas Indonesia semakin kompleks. Jika dahulu tekanan datang dari dua blok ideologis besar (kapitalis vs komunis), kini tekanan datang dari berbagai arah: ekonomi global, diplomasi multilateral, konflik bersenjata regional, hingga perang dagang dan teknologi.

Berikut beberapa isu besar yang menunjukkan bagaimana prinsip netralitas Indonesia diuji:

1. Konflik Rusia–Ukraina

Saat invasi Rusia ke Ukraina dimulai pada 2022, banyak negara Barat menuntut dukungan dari negara-negara berkembang untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Indonesia memilih untuk tidak ikut menjatuhkan sanksi, dengan alasan bahwa langkah tersebut bertentangan dengan prinsip bebas aktif. Di sisi lain, Indonesia tetap menyerukan penghormatan terhadap kedaulatan Ukraina di berbagai forum internasional.

Namun, sikap ini dikritik oleh sebagian pihak sebagai bentuk "ambiguitas moral" karena tidak menyebut Rusia sebagai agresor secara eksplisit. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia menjaga netralitas karena prinsip, atau karena ketergantungan pada perdagangan dan energi dengan Rusia ?

2. Ketegangan di Laut Cina Selatan

Wilayah Laut Cina Selatan menjadi titik panas geopolitik, terutama karena klaim sepihak Republik Rakyat Tiongkok yang memasukkan sebagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia ke dalam "sembilan garis putus" mereka. Meskipun Indonesia secara konsisten menolak klaim tersebut, hubungan ekonomi dengan Tiongkok tetap dijaga erat.

Indonesia harus bermain hati-hati: menegaskan kedaulatan di Natuna, namun tidak sampai merusak hubungan dagang dan investasi yang begitu penting, terutama di sektor infrastruktur melalui program Belt and Road Initiative.

3. Isu Palestina dan Israel

Dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina merupakan salah satu contoh konsistensi moral yang terus dipertahankan. Indonesia hingga saat ini tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, meskipun ada tekanan dari beberapa negara sahabat untuk melakukannya demi alasan strategis dan ekonomi.

Namun demikian, di saat negara-negara Arab mulai membuka hubungan dengan Israel lewat Abraham Accords, Indonesia tetap bertahan di posisinya, menegaskan bahwa pengakuan terhadap Palestina merdeka adalah syarat mutlak.

Kepentingan Nasional: Ekonomi sebagai Pertimbangan Kunci

Dalam era globalisasi, pertimbangan ekonomi menjadi semakin dominan dalam kebijakan luar negeri. Indonesia menyadari bahwa menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan besar dunia merupakan hal esensial untuk stabilitas ekonomi domestik.

Misalnya:

  • Tiongkok adalah mitra dagang terbesar dan investor utama dalam proyek infrastruktur strategis.

  • Amerika Serikat tetap penting sebagai mitra keamanan dan teknologi.

  • Rusia masih relevan dalam sektor pertahanan dan energi.

Dalam konteks ini, netralitas menjadi sarana mengelola relasi global secara fleksibel, bukan semata-mata berdiri di atas idealisme moral. Ini adalah bentuk diplomasi yang realistis: menjaga kepentingan nasional tanpa harus sepenuhnya tunduk pada kekuatan luar.

Kritik dan Tantangan dari Dalam Negeri

Di dalam negeri, sikap netral Indonesia tidak selalu diterima secara bulat. Masyarakat sipil, LSM, akademisi, dan media sering kali mendorong pemerintah untuk bersikap lebih tegas dalam menanggapi isu-isu global, terutama yang menyangkut pelanggaran HAM dan kedaulatan negara lain.

Kritik terhadap "netralitas setengah hati" muncul, misalnya dalam kasus Rohingya di Myanmar, konflik kemanusiaan di Gaza, atau bahkan isu pelanggaran demokrasi di negara-negara mitra dagang Indonesia. Pemerintah dinilai terlalu berhati-hati, bahkan terkesan "diam", dalam menghadapi isu-isu tersebut.

Menuju Netralitas Strategis dan Bermartabat

Netralitas Indonesia tidak seharusnya dimaknai sebagai abstain atau menghindar dari konflik internasional. Sebaliknya, Indonesia perlu mengembangkan konsep netralitas strategis, yakni:

  1. Bersikap tegas terhadap pelanggaran hukum internasional, dengan tetap menjaga komunikasi dengan semua pihak.

  2. Memperkuat peran sebagai mediator dan juru damai, sebagaimana pernah dilakukan dalam konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Timor Leste.

  3. Membangun ketahanan nasional, agar tidak mudah ditekan oleh kekuatan global.

  4. Memprioritaskan diplomasi multilateral dan regional, terutama melalui ASEAN, OKI, dan PBB.

Dengan pendekatan ini, netralitas bukan menjadi bentuk pasivitas, melainkan kekuatan moral dan politik yang aktif serta bermartabat.

Prinsip atau Kepentingan?

Netralitas Indonesia akan terus diuji dalam dunia yang semakin kompleks dan kompetitif. Di satu sisi, prinsip moral dan idealisme kebangsaan harus terus dijaga. Di sisi lain, realitas geopolitik dan tuntutan pembangunan ekonomi tidak bisa diabaikan.

Yang perlu dipastikan adalah bahwa kepentingan nasional tidak boleh menggerus nilai dan karakter Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai, adil, dan merdeka dalam bersikap. Selama prinsip bebas aktif tetap dikawal dengan kesadaran strategis, Indonesia bisa menjadi aktor penting yang menjembatani dunia yang terbelah.

Netralitas bukan hanya soal tidak memihak—tetapi soal bagaimana berpihak pada perdamaian, keadilan, dan kepentingan nasional secara seimbang.