Pada pertengahan tahun 2025, Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) kembali menjadi sorotan global setelah mengeluarkan putusan penting terkait dugaan genosida yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap kelompok etnis minoritas. Putusan ini muncul dari gugatan yang diajukan oleh negara-negara berkembang yang menuduh adanya pelanggaran berat terhadap Konvensi Genosida 1948.
Mahkamah menyatakan bahwa terdapat indikasi kuat telah terjadi tindakan yang mengarah pada genosida. Meski belum menyebutkan secara eksplisit "genosida" dalam vonis akhirnya, putusan ini menuntut negara terdakwa untuk segera menghentikan segala tindakan yang dapat memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah konflik tersebut.
Apa Itu Genosida dan Mengapa Sulit Dibuktikan?
Genosida secara hukum adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial, atau agama. Pembuktian genosida bukanlah hal mudah. Dibutuhkan:
-Bukti kuat atas niat penghancuran,
- Dokumentasi tindakan yang dilakukan secara sistematis,
- dan kesaksian dari korban serta pelaku.
Selama bertahun-tahun, pengadilan internasional hanya menjatuhkan vonis genosida pada segelintir kasus, seperti pembantaian Rwanda (1994) dan pembantaian Srebrenica di Bosnia (1995).
Putusan ICJ: Simbol Moral atau Pemicu Tindakan Nyata?
Pertanyaan besar muncul: Apakah dunia akan bergerak setelah putusan ini?
Sejarah mencatat bahwa vonis ICJ sering kali tidak disertai mekanisme penegakan hukum yang kuat. Mahkamah ini tidak memiliki tentara atau kekuasaan langsung untuk memaksa negara tunduk. Pelaksanaan sepenuhnya tergantung pada:
- Tekanan dari Dewan Keamanan PBB,
- Respons negara-negara besar,
- dan opini publik internasional.
Sayangnya, politik global kerap membuat putusan ICJ bersifat simbolik, apalagi jika negara terdakwa adalah sekutu kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, atau Cina.
Reaksi Dunia: Solidaritas, Sanksi, atau Sekadar Retorika?
Beberapa negara telah menyatakan dukungan atas putusan tersebut. Uni Eropa dan beberapa negara BRICS menyerukan penyelidikan lanjutan dan pemberian sanksi ekonomi terhadap negara pelaku. Namun, negara-negara besar lainnya tampak berhati-hati, takut kehilangan mitra dagang atau akses geopolitik.
Sementara itu, masyarakat sipil, aktivis HAM, dan LSM global menaikkan tekanan moral, menuntut:
Embargo senjata,
Penarikan investasi,
dan dukungan kemanusiaan lebih besar bagi korban.
Bagaimana Posisi Indonesia?
Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan dan non-intervensi, Indonesia berada pada posisi dilematis. Di satu sisi, Indonesia adalah penandatangan Konvensi Genosida dan memiliki reputasi aktif di forum internasional. Namun di sisi lain, Indonesia juga berhati-hati dalam mengambil sikap yang bisa merusak hubungan bilateral atau berdampak pada stabilitas kawasan.
Pernyataan resmi pemerintah Indonesia sejauh ini bersifat netral: mendukung proses hukum internasional dan menyerukan penghentian kekerasan serta akses kemanusiaan.
Kesimpulan: Dunia di Persimpangan Etika dan Kepentingan
Putusan Mahkamah Internasional ini seharusnya menjadi momen penting untuk menegakkan keadilan global, tetapi tanpa tindakan nyata, ia akan menjadi sekadar simbol moral. Dunia kini berada di persimpangan antara etika kemanusiaan dan kepentingan geopolitik.
Pertanyaan akhirnya tetap menggantung:
Akankah dunia bergerak, atau justru kembali diam seperti yang sering terjadi?
0 komentar:
Posting Komentar