Air menutupi lebih dari 70% permukaan Bumi, namun hanya sekitar 0,5% yang layak dikonsumsi manusia. Ironisnya, di era teknologi dan kemajuan peradaban seperti sekarang, jutaan orang masih harus berjalan berjam-jam hanya untuk mendapatkan air bersih. Di banyak negara, krisis air sudah menjadi kenyataan sehari-hari, bukan sekadar isu masa depan.
Namun sebagian pihak menganggap isu krisis air dunia dibesar-besarkan, didorong oleh LSM atau perusahaan air kemasan yang mengambil keuntungan dari rasa takut global. Lantas, benarkah kita sedang menghadapi ancaman nyata, atau ini hanya alarm palsu?
Menurut laporan terbaru dari PBB dan World Resources Institute:
1 dari 4 orang di dunia hidup di negara dengan tekanan air ekstrem.
Lebih dari 2 miliar orang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman.
Banyak kota besar termasuk Cape Town (Afrika Selatan), Chennai (India), dan bahkan Los Angeles (AS) telah mengalami atau sedang menuju kondisi Day Zero, yaitu hari di mana keran air kota tidak lagi mengalir.Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, urbanisasi cepat, dan eksploitasi air tanah yang tidak berkelanjutan memperparah situasi. Tambahkan konflik geopolitik dan korupsi dalam pengelolaan sumber daya air maka lengkaplah krisisnya.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Krisis air bukan hanya soal cuaca buruk atau musim kering. Ia sangat terkait dengan cara manusia mengelola alam dan industri:
Industri tekstil menghabiskan ribuan liter air hanya untuk satu potong pakaian.
Pertanian intensif menyedot lebih dari 70% konsumsi air global, banyak di antaranya terbuang sia-sia karena irigasi tidak efisien.
Air tanah di banyak kota besar seperti Jakarta, Teheran, dan Mexico City menyusut drastis akibat eksploitasi berlebihan.
Krisis air semakin diperparah oleh perubahan iklim:
-Kekeringan berkepanjangan dan banjir ekstrem menghancurkan ekosistem air tawar.
-Lapisan es dan gletser, sumber air utama bagi ratusan juta orang, mencair lebih cepat dari prediksi.
-Pola cuaca tak menentu mengacaukan siklus air, terutama di negara-negara tropis dan sub-tropis.
Air bersih kini menjadi salah satu komoditas paling rentan terhadap krisis iklim.
Air: Komoditas atau Hak Asasi?
Dalam beberapa dekade terakhir, air mulai diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, bukan lagi hak dasar manusia. Perusahaan swasta, investor besar, dan spekulan mulai membeli hak atas air, memicu kontroversi.
Contoh ekstrem adalah ketika air mulai diperdagangkan di bursa komoditas di AS menimbulkan pertanyaan moral besar:
Apakah air bersih akan menjadi milik siapa yang mampu membeli, bukan yang membutuhkannya?
Bagaimana dengan Indonesia?
Meskipun dikenal sebagai negara kaya air, Indonesia tak luput dari ancaman krisis:
-Sumur-sumur kering di NTT, NTB, dan sebagian Jawa Timur.
-Pencemaran sungai di perkotaan karena limbah rumah tangga dan industri.
-Eksploitasi air tanah yang menyebabkan tanah amblas di Jakarta dan kota-kota besar lain.
Kebijakan konservasi air belum maksimal, dan kesadaran publik masih rendah.
Jadi, Apakah Ini Dibesar-besarkan?
Jawabannya: tidak. Data menunjukkan bahwa krisis air adalah nyata, global, dan semakin mendesak. Namun, bukan berarti tak bisa diatasi.
Yang dibesar-besarkan mungkin adalah ketakutan tanpa arah. Kita membutuhkan solusi konkret dan kerja sama lintas negara, lintas sektor, dan lintas generasi.
Menuju Masa Depan yang Lebih Bijak
Solusi krisis air tidak bisa hanya dari satu arah. Beberapa langkah penting meliputi:
-Revolusi sistem irigasi dan pertanian hemat air,
-Kebijakan konservasi dan perlindungan sumber air,
-Inovasi teknologi air: desalinasi, daur ulang air limbah, harvesting air hujan,
Pendidikan masyarakat tentang pentingnya hemat air.
0 komentar:
Posting Komentar